Tribunners / Citizen Journalism
Bully dalam Pendidikan Dokter: Antara Kekerasan dan Pembentukan Mental
Ada bully yang memang harus diberantas, tapi ada juga tekanan yang justru dibutuhkan untuk melahirkan dokter tangguh.
Editor:
Suut Amdani
Oleh Eka Erwansyah, Staf Dosen FKG Universitas Hasanuddin, Sekretaris Jenderal PB PDGI
Isu bullying di pendidikan dokter dan dokter gigi kembali ramai setelah Menteri Kesehatan kerap menyinggungnya dalam berbagai pidato.
Seolah-olah bully menjadi “nutrisi” yang menghidupkan narasi publik tentang kerasnya pendidikan kedokteran di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, praktik bully memang nyata ada.
Namun yang sering terabaikan adalah pemahaman bahwa kata bully punya spektrum yang luas.
Tidak semua yang disebut bully selalu identik dengan kekerasan.
Ada yang benar-benar destruktif, tapi ada juga yang justru berfungsi mendidik.
Baca juga: Dokter Tan Bongkar Borok MBG, Sebut Ahli Gizinya Baru Lulus: Mereka Tak Tahu Saat Ditanya HACCP
Bully Negatif yang Merusak
Bentuk bullying yang paling mudah dikenali adalah yang bersifat negatif.
Di pendidikan kedokteran, ini bisa muncul dalam berbagai wujud:
• Fisik, misalnya perlakuan kasar atau pemaksaan yang membahayakan.
• Verbal, berupa ejekan, cemooh, atau kata-kata yang merendahkan.
• Finansial, berupa pungutan atau beban biaya tidak wajar yang membebani mahasiswa.
• Sosial, berupa pengucilan atau penciptaan sekat hierarki yang berlebihan.
Semua bentuk ini jelas tidak bisa dibenarkan.
Dampaknya serius: mahasiswa bisa kehilangan motivasi, menderita gangguan psikologis, bahkan trauma jangka panjang.
Budaya semacam ini harus dihapus dari dunia pendidikan.
Tekanan Edukatif yang Justru Membangun
Namun, ada satu sisi yang jarang dibicarakan: tekanan terukur yang bersifat edukatif.
Banyak orang buru-buru melabelinya sebagai bully, padahal dalam pendidikan dokter, tekanan semacam ini justru penting untuk melatih mental.
Mengapa? Karena dunia kedokteran nyata jauh lebih keras daripada ruang kuliah.
Dokter harus siap berjaga di malam hari, mengambil keputusan cepat dalam situasi kritis, menghadapi pasien dan keluarga yang emosional, bahkan menanggung risiko digugat hukum.
Tanpa mental baja, dokter bisa rapuh di lapangan.
Contoh tekanan edukatif antara lain:
• Senior memberi tugas ekstra agar junior terbiasa dengan beban kerja.
• Dosen menegur keras kesalahan fatal supaya tidak terulang di depan pasien.
• Jadwal jaga panjang yang membiasakan ritme kerja di rumah sakit.
Apakah ini nyaman? Tentu tidak.
Tapi kenyamanan bukanlah tujuan utama pendidikan kedokteran.
Tujuannya adalah membentuk dokter yang tangguh, disiplin, dan siap menghadapi realitas klinik.
Garis Tipis antara Mendidik dan Menindas
Persoalannya adalah bagaimana membedakan antara tekanan mendidik dan penindasan destruktif. Perbedaannya ada pada tujuan.
• Jika ada tujuan pembelajaran, tekanan itu bisa diterima.
• Jika hanya memuaskan ego senior, itu penindasan.
• Jika diikuti evaluasi dan umpan balik, tekanan jadi mendidik.
• Jika hanya menimbulkan rasa takut, itu perundungan.
Sayangnya, batas ini sering kabur. Institusi pendidikan kedokteran harus berani menegaskan garisnya:
kekerasan harus diberantas, tapi tekanan edukatif jangan dihapuskan.
Kalau semua bentuk tekanan dilarang atas nama “anti-bullying,” maka justru ada risiko melahirkan dokter yang lemah menghadapi dunia nyata.
Membentuk Baja, Bukan Membakar
Seorang dokter ibarat baja. Untuk kuat, baja harus ditempa dengan api.
Tetapi api yang terlalu besar bisa membakar habis.
Begitu pula pendidikan kedokteran: mahasiswa memang perlu tekanan, tapi yang proporsional dan bertujuan jelas.
Budaya bully negatif — fisik, verbal, finansial, atau sosial — harus ditinggalkan.
Tapi tekanan yang mendidik, yang mengajarkan ketangguhan, harus tetap dipertahankan.
Caranya adalah dengan mengubah tradisi hierarkis menjadi tradisi mentoring: senior menjadi teladan, bukan predator.
Penutup
Diskusi tentang bully dalam pendidikan kedokteran tidak bisa hitam-putih.
Ada bully yang memang harus diberantas, tapi ada juga tekanan yang justru dibutuhkan untuk melahirkan dokter tangguh.
Masyarakat berhak menolak segala bentuk kekerasan.
Namun masyarakat juga perlu memahami bahwa dokter tidak bisa ditempa dalam kenyamanan.
Dunia medis terlalu keras untuk itu.
Pada akhirnya, pendidikan dokter harus mencari titik seimbang: tegas menolak kekerasan, tapi tetap memberi ruang bagi tekanan edukatif yang membentuk mental baja.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kekerasan terhadap Tenaga Medis: Negara Harus Tegas, Publik Harus Melek |
![]() |
---|
Menkes Gunadi Kecam Keras Aksi Keluarga Pasien Paksa Dokter Buka Masker di RSUD Sekayu Sumsel |
![]() |
---|
Putih Sari: Pemerintah Perlu Jamin Layanan Kesehatan Merata di Daerah Terpencil |
![]() |
---|
Menteri Kesehatan Thailand: Setidaknya 12 orang Tewas di Thailand |
![]() |
---|
Menteri Kesehatan: Indonesia Kekurangan 70 Ribu Dokter Spesialis |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.