BP Migas Dibubarkan
Muhammadiyah Tiga Tahun Dalami Kelemahan BP Migas
Dia bersama Muhammadiyah, tiga tahun membahas dan mendalami kelemahan UU No 22 tahun 2001 tentang Migas
Penulis:
Abdul Qodir
Editor:
Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA- Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din SyamsudDin mengakui inisiator judicial review UU Migas yang berimbas pada pembubaran lembaga BP Migas berasal dari Muhammadiyah.
Dia bersama pakar Muhammadiyah, selama tiga tahun membahas dan mendalami kelemahan UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, termasuk payung hukum BP Migas.
Din menceritakan, awal ide ini muncul dari sidang Tanwir PP Muhammadiyah di Bandar Lampung pada 2009. Ketika itu, diputuskan perlunya pengkajian terhadap sejumlah undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya bidang energi.
Muhammadiyah melihat ada persoalan yang sangat prinsipil menyangkut fundamental bangsa atas keberadaan sejumlah undang-undang di bidang pertambangan minyak dan gas dari perut bumi Indonesia.
Dari situ lah, PP Muhammadiyah membentuk tim pengkaji yang terdiri atas dari pakar dan ahli hukum dari internal. Selama setahun tim, tersebut bekerja dan menginventarisir undang-undang yang dinilai inkonstitusional dan bisa di-judicial review ke MK.
Misalnya, Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentnag Migas, 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
"Itu melalui pengkajian panjang selama 2009 oleh pakar-pakar Muhammadiyah," ujar Din.
Kemudian, Awal 2012, PP Muhammadiyah memutuskan mengajukan judicial review sejumlah pasal pada Undang-undang Migas ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Din, UU Migas dipilih yang pertama digugat ke MK karena tim pengkaji dari Muhammadiyah menilai undang-undang yang memuat tentang keberadaan, tugas dan fungsi BP Migas itu justru merugikan negara.
Sebab, badan yang mengatur regulasi dan izin hulu dan hilir migas tanah itu justru berimbas pada dominasi dan pengusaan kekayaan alam oleh pihak asing berbalut kontrak kerja.
"Dulu kita eksportir, tapi sekarang kita menjadi net importir. Kebutuhan BBM kita sehari adalah 1,2 juta barel, tapi kemampuan produksi kita hanya 900 ribu barel, sehingga sekitar 300 ribu barel kita harus impor. Terjadilah kongkalikong dan katanya ada perusahaan yang mark-up dan sebagainya," kata Din.
Menurut Din, adalah tidak baik dengan BP Migas yang memposisikan pemerintah setara dengan pihak asing yang melakukan kontrak kerja dan menguasai sumber daya alam Indonesia. BP Migas dianggap merugikan negara karena hasil kerjanya justru tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat sebagaimana amanah Pasal 33 UUD 1945.
"Kalau ada apa-apa, dia bisa digugat. Ada soal hulu dan hilir. Pada intinya, kami diyakinkan, bahwa lembaganya saat ini telah merugikan negara dan rakyat, sehingga amanat Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai," tegas Din.
Menurut Din, banyak ormas Islam dan tokoh besar, seperti Achmad Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Solahudin Wahid, Fahmi Idris, Laode Ida, dan Hendri Yosodiningrat, ikut barisan pemohon judicial review UU Migas ke MK, karena adanya kesamaan visi bahwa kekayaan alam harus dikuasai negara untuk kemamuran rakyat.
"Pak Komarudin juga kan rektor saya. Kalau proses komunikasi dengan tokoh-tokoh, itu prosesnya di tim. Saya lupa tanggalnya. Pokoknya ketika ada ide itu, semua orang datang. Katanya saya setuju, saya ikut," jelasnya.