Minggu, 21 September 2025

Warga Batang Jateng ke Jepang Protes Pembangunan Pembangkit Listrik

Warga Batang Jawa Tengah protes keras pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara.

Editor: Dewi Agustina
Foto Alterna/Saito Madoka
Dari kanan ke kiri: Abdul Hakim, Karmat, Cahyadi, warga Batang Jawa Tengah dalam jumpa pers, Rabu (29/7/2015). 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Warga Batang Jawa Tengah protes keras pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara, terutama para pemilik tanah yang merasa tertekan diharuskan menjual tanahnya kepada Bimasena Power Indonesia (BPI). Bahkan disebutkan adanya preman yang berusaha menekan mereka.

"Sekitar 7 ribu orang atau lebih sejak tahun 2012 menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di Batang. Demikian pula pemilik lahan 71 orang menolak penjualan tanah, sehingga rencana tertunda tiga tahun. Situs konstruksi direncanakan menghadap laut. Dari fakta bahwa kerusakan perikanan di sekitar pembangkit listrik tenaga batu bara terjadi di masa lalu. Warga setempat yang bergerak di bidang pertanian merasa kehilangan mata pencahariannya dengan pengambilan tanah mereka," tulis media Alterna setelah konferensi pers warga Batang di Tokyo, Rabu (29/7/2015) kemarin.

Kunjungan ke Jepang para pemilik tanah yang mewakili warga setempat dan nelayan. Salah satunya pemilik tanah.

"Pinjaman dari JBIC (Japan Bank for International Cooperation) merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Daripada pembangkit listrik batu bara, kami ingin pembangkit listrik tenaga energi terbarukan yang akrab lingkungan," kata Karmat, salah seorang pemilik tanah.

Tanah sudah 90 persen diakuisisi, tetapi salah satu pemilik tanah, Cahyadi yang mewakili pemilik tanah mengatakan, warga melepaskan tanah karena mendapat tekanan untuk menjualnya.

Sementara Abdul Hakim, seorang nelayan mengatakan ada kapal nelayan dari 250 desa, pendapatan nelayan tahunan Rp 70 miliar.

"Jika kita di sini dibangun pembangkit listrik tenaga batu bara, maka kehidupan kita akan hancur," katanya.

Warga disebutkan juga mendapat tekanan dari polisi, militer, satpam dan bahkan juga tekanan dari para preman di sana.

"Sebanyak 20 orang terluka akibat kekerasan polisi dan militer terhadap peserta protes, termasuk pula intimidasi oleh preman," tulis Alterna.

Cahyadi dan rekan-rekannya mengatakan mantan bupati Batang telah melakukan pelecehan dan warga berusaha melawan terhadap preman lokal.

"Apabila berhasil terjual maka para preman mendapat sekitar 5 hingga 10 persen komisi dari harga jual. Itulah sebabnya para preman sangat aktif bergerak melakukan penekanan," ujarnya.

Warga Batang kemarin juga mengajukan permohonan masing-masing untuk JBIC dan OECD agar meninjau ulang proyek tersebut.

Pembangkit listrik tenaga batubara Batang dibangun pada tanah seluas 226,4 hektar yang nantinya akan menghasilkan listrik sebesar 1000 MW x 2 unit. Jalur transmisi menggunakan 61,4 hektar termasuk pembangunan gardu, peralatan dan sebagainya pada tanah seluas 25 hektar. Menggunakan 16 kilometer daerah laut lepas pantai.

Pengelola PT Bhimasena Power Indonesia yang dibangun patungan antara Jepang dan Indonesia. Pihak Jepang yaitu J-Power dengan saham 34 persen dan Itochu Corporation dengan saham 32 persen. Lalu PT Adaro Power dengan saham 34 persen. Pendanaan diperoleh dari JBIC.

Keluhan pengusaha Jepang tersebut mengenai pembebasan tanah ini pernah disampaikan kepada Presiden Jokowi (24 Maret 2015) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat kunjungan ke Tokyo 13 Maret 2015 lalu.


Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan