Pilpres 2019
Benarkan Prabowo Bertemu Kepala BIN, Gerindra : Bukan Bahas Urusan dengan Pak Jokowi
"Oh enggak ada hal hal lain yang dia bicarakan, (selain) dari segi security kali, (tapi) bukan urusan Pak Jokowi dengan pak Prabowo," katanya
Penulis:
Taufik Ismail
Editor:
Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Maher Algadri membenarkan adanya pertemuan antara Prabowo Subianto dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan beberapa waktu lalu.
"Benar, enggak ada yang ditutupin kok," ujar Maher di Kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis tengah malam (27/6/2019).
Baca: TKN Sebut Idealnya Prabowo-Sandiaga Ucapkan Selamat kepada Jokowi-Maruf
Menurut Maher, tidak ada yang spesial dari pertemuan tersebut.
Pertemuan tidak membicarakan koalisi atau rencana mempertemukan Jokowi dengan Prabowo.
Pertemuan keduanya hanya membahas soal isu keamanan.
"Oh enggak ada hal hal lain yang dia bicarakan, (selain) dari segi security kali, (tapi) bukan urusan Pak Jokowi dengan pak Prabowo," katanya.
Maher mengatakan bila Prabowo ingin bertemu dengan Jokowi, tidak perlu ada penjajakan dahulu.
Baca: Gerindra : Tidak Pernah Ada Tawaran Resmi Koalisi dari Jokowi
Keduanya merupakan tokoh yang tidak memiliki masalah satu sama lain.
"Pak Prabowo engga membutuhkan mau ketemu pak jokowi. Tapi dia kalau mau ketemu dia minta saja dia pasti ketemu. Enggak ada problem dua duanya, sering ketemu kok. Jadi kalau you bicara ketemu, enggak ada masalah," pungkasnya.
Merasa Belum Ditawari Koalisi
Anggota Dewan Pembina Gerindra Maher Algadri mengatakan dalam rapat Badan Pemenangan Nasional dan Pimpinan Partai pengusung Prabowo-Sandiaga di kediaman Prabowo Subianto semalam belum membahas soal adanya tawaran koalisi dari kubu Jokowi.
"Enggak, enggak ada, enggak dibahas. Koalisi itu kan musti ada tawaran, enggak ada kok," ujar Anggota Dewan Pembina Gerindra Maher Algadri, di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis tengah malam, (27/6/2019).
Baca: Perludem Harap Seluruh Elite Wujudkan Agenda Rekonsiliasi Pascaputusan MK
Lagipula menurut Maher, belum ada tawaran resmi dari Jokowi kepada partai Gerindra atau Prabowo Subianto untuk bergabung dengan koalisi.
Yang ada hanya komunikasi dari perorangan yang mengklaim mewakili pihak Jokowi.

Sehingga menurutnya, bisa diartikan tawaran tawaran kerjasama politik belum masuk ke meja Prabowo Subianto.
"Enggak ada, enggak pernah ada," katanya.
Menurut Maher, Partai Gerindra sama sekali tidak pernah meminta atau membuka komunikasi koalisi dengan kubu Jokowi.
Baca: Sistem Zonasi, Sekolah Swasta Kehilangan Siswa
Komunikasi justru selalu datang dari pihak luar, namun komunikasi tersebut tidak resmi artinya tidak langsung dari Jokowi.
"Tidak pernah dari Gerindra, orang dari luar. Yang mewakili katanya dari sebelah sana ingin berkoalisi. Dari mana? Kita engga bisa nanggapi yang gitu dong. Kalau resmi itu surat dari Jokowi, itu baru benar," tuturnya.
Kata Luhut soal Gabung Koalisi
Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan tidak menutup kemungkinan kubu oposisi bergabung dengan pemerintah pascapemilu 2019.
Sebelumnya dikabarkan kubu posisi menjalin komunikasi dengan partai koalisi pemerintah dalam upaya rekonsiliasi pasca Pilpres 2019.
Baca: Mungkinkah Jokowi Sambangi Rumah Prabowo Seperti 2014 Silam? Ini Kata Luhut
"Kalau itu sih saya kira tanya presiden ya. Tapi pada dasarnya tidak menutup kemungkinan-kemungkinan itu terjadi," kata Luhut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (25/6/2019).
Hanya saja luhut mengaku tidak tahu apakah ada penawaran penawaran posisi atau jabatan tertentu dari Jokowi kepada oposisi dalam upaya menjalin rekonsiliasi itu.

Begitu pula dengan sosok yang diutus Jokowi dalam membuka komunikasi dengan kubu Prabowo.
"Kalau itu saya nggak tahu. Saya nggak mau jawab," katanya.
Sebelumnya permintaan adanya rekonsiliasi datang dari dua kubu baik itu TKN Jokowi-Maruf maupun BPN Prabowo-Sandiaga.
Sebagian dari mereka berpandangan bahwa dalam menjalin rekonsiliasi pasca Pilpres nanti tidak perlu adanya pembagian kekuasaan atau power sharing.
Ketua DPP PDI Andreas Hugo Pareira mengatakan apabila ada pembagian kekuasaan maka tidak akan ada yuang menjadi penyeimbang atau pengoreksi pemerintah.
“Siapa yang akan jadi partai penyeimbang di luar? Kami PDIP ini sudah pernah menjadi partai yang di luar pemerintahan 10 tahun dan kami merasakan betul manfaat jadi partai penyeimbang di luar pemerintahan itu penting,” kata Andreas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kamis (20/6/2018).
Hal senada disampaikanjuru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Saleh Partaonan Daulay.
Menurutnya dalam menjalin rekonsiliasi tidak harus ada pembagian kekuasaan (power sharing). karena menurutnya rekonsiliasi dijalin bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan untuk kepentingan bangsa.
"Engga mesti ya karena dalam rekonsiliasi itu kepentingan yang diajukan bukan sektoral parpol tapi keptingan bangsa dan negara. Kalau masih terus-terusan ribut maka engga akan selesai," kata Saleh di Kompleks Parlemen, senayan, Jakarta, Senin, (24/6/2019).
Baca: Pengacara Sebut Ada Upaya Pembungkaman di Balik Proses Hukum Ratna Sarumpaet
Selain itu menurut Saleh, dalam menjalin rekonsiliasi, tidak berarti harus mengakomodir semua partai masuk ke dalam pemerintahan. Dalam negara demokrasi harus tetap ada oposisi yang mengawasi pemerintahan.
"Dan harus dijaga kunci oposisi yang konstruktif, karena tanpa itu maka terlalu kuat pemerintahan, karena engga ada yang koreksi sama sekali dan sampaikan sesuatu yang berbeda, itu sangat tidak tepat," katanya.
Kata PKS
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, kompetisi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) ada awal dan akhir.
Ia mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan pasangan Jokowi-Ma'ruf menang dalam Pemilu 2019, sehingga Jokowi memiliki amanah untuk memimpin Indonesia.
Namun, kata dia, koalisi Prabowo-Sandiaga saat ini harus menjadi koalisi oposisi yang kritis dan konstruktif.
"Terlepas dari ada kekurangan dalam proses dan pelaksanaan pemilu, bangsa ini mesti melangkah ke depan. Dan lima tahun ke depan Pak Jokowi mendapat amanah memimpin negeri ini," kata Mardani dalam keterangan tertulis, Jum'at, (28/6/2019).
Baca: PP Muhammadiyah Puji Sikap Legowo Prabowo Terima Putusan MK
Baca: Status Facebook Hina Babu Jadi Viral, PNS Tangerang Dimutasi dan Diturunkan Pangkat
Baca: Gejala-Gejala Ini Beri Sinyal Tubuh Terserang Hepatitis A
Mardani mengajak partai-partai koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga merapikan barisan untuk menjadi oposisi kritis dan konstruktif sebagai penyeimbang pemerintah.
"Saatnya kita merapihkan barisan untuk menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah. Selama kita istiqomah membela rakyat, sama saja kebaikan yang didapat, baik di dalam ataupun di luar pemerintahan," ujarnya.
Selanjutnya, Mardani mengatakan, koalisi Indonesia Adil dan Makmur sangat layak untuk diteruskan menjadi penyeimbang untuk mengawal pemerintahan selanjutnya.
"Koalisi Adil Makmur sangat layak diteruskan menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengawal agar pembangunan benar-benar ditujukan untuk kepentingan rakyat," pungkasnya.
Sebelumnya, majelis hakim konstitusi menolak seluruh gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 yang diajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Menurut Mahkamah, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum