PPATK Temukan Rp 26 Miliar Transaksi Mencurigakan di Oknum Polisi, Jaksa dan Hakim
Dalam laporan terbarunya, PPATK juga menemukan dugaan gratifikasi dari industri farmasi kepada beberapa oknum dokter.
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan aparat penegak hukum, yakni oknum polisi, jaksa, hakim.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, nilai transaksi mencurigakan tersebut mencapai Rp 26 miliar.
Transaksi mencurigakan yang dihasilkan dari sembilan hasil analisis dan pemeriksaan pada periode Oktober 2016 sampai April 2017 tersebut melibatkan 43 oknum penegak hukum dan empat perusahaan.
Sumber dana dari transaksi tersebut berasal dari tersangka atau pihak yang kasusnya ditangani penegak hukum.
"Pola transaksi mencurigakannya dilakukan dengan beberapa cara," katanya, akhir pekan lalu.
Pertama, menggunakan pihak ketiga, seperti kerabat atau pihak yang berafiliasi dengan penegak hukum untuk menampung dana. Kedua, transaksi dilakukan dengan uang tunai agar jejak transaksi bisa dihilangkan.
Gratifikasi di Industri Farmasi
Dalam laporan terbarunya, PPATK juga menemukan dugaan gratifikasi dari industri farmasi kepada beberapa oknum dokter.
Kiagus Ahmad Badaruddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR pekan lalu mengatakan, nilai dugaan gratifikasi tersebut mencapai Rp 800 miliar.
Baca: PPATK Temukan Indikasi Transaksi Tak Lazim di Rekening Rektor
PPATK sendiri sudah menindaklanjuti temuan tersebut dengan memaparkan hasil temuan tersebut kepada Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Kesehatan, dan BPOM. "Hasil analisis juga sudah diserahkan kepada KPK untuk ditindaklanjuti," katanya.
Kiagus menyarankan ke depan, supaya dugaan gratifikasi tersebut tidak ada lagi, lembaganya meminta pemerintah membuat aturan jelas soal pemberian dari pabrik farmasi ke dokter.
Sebab, bisa saja pemberian yang dilakukan tersebut merupakan sponsor atau CSR dari pabrik farmasi ke tenaga kesehatan.
Reporter: Agus Triyono