Senin, 1 September 2025

Kasus Jiwasraya

Penyelesaian Kisruh Jiwasraya Harus Prioritaskan Kepentingan Nasabah

Dikatakan, sistem keuangan non bank saat ini, masih jauh dari kokoh. Seiring dengan adanya beberapa kasus terakhir seperti Jiwasraya.

istimewa
Deni Daruri 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seluruh lembaga negara yang berkomitmen menyelesaikan sengkarut keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) perlu mengutamakan kepentingan nasabah. Artinya, dana mereka harus segera dikembalikan.

Pandangan tersebut disampaikan President Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri kepada media di Jakarta, Senin (3/2/2020).

"Kami berharap semua pihak DPR, BPK, Kejaksaan Agung, Ombudsman, menggunakan kewenangannya untuk perlindungan nasabah dengan pendekatan bisnis yaitu mengembalikan uang nasabah secara terukur, obyektif, kredibel dan akurat dengan pendekatan bisnis, karena Nasabah lah yang hari ini dirugikan bukan negara dalam kasus jiwasraya," paparnya.

Dirinya mengaku miris lantaran ada ada pihak yang mempunyai kewenangan, namun berakrobat politik atau hukum hanya untuk menunjukan superioritas lembaga, tanpa memperdulikan pemegang polis yang hari ini menunggu kepastian pembayaran.

Dikatakan, sistem keuangan non bank saat ini, masih jauh dari kokoh. Seiring dengan adanya beberapa kasus terakhir seperti Jiwasraya.

Berdasarkan Undang Undang No 29 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), ada klausul yang menyatakan bahwa lembaga jasa keuangan yang dianggap dapat memicu krisis keuangan adalah bank, dan bukan asuransi.

Logika dasarnya adalah bank memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang lebih besar dengan sektor keuangan lainnya.

"Sementara itu berdasarkan akal sehat lembaga keuangan apakah bank ataupun non bank berpotensi memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang secara relative besar dengan sektor keuangan lainnya," paparnya.

Selanjutnya Deni memaparkan ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil alih perusahaan asuransi AIG, karena memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang besar dengan industry keuangan. Kala itu, AIG dimiliki swasta dan diambilalih oleh negara.

Pengambilalihan itu memang tidak mulus lantaran ditentang banyak pihak. Alasannya, dianggap negara tidak boleh memiliki badan usaha milik negara, namun karena alasan yang kuat dari argumentasi ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang sangat besar terhadap sector perekonomian khususnya sector keuangan maka langkah pengambilalihan tersebut juga disetujui parlemen.

Selanjutnya, papar deni, Pemerintah AS mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengambilalih AIG. Belakangan, keputusan pemerintah AS ternyata tepat. Karena memberikan keuntungan yang signifikan. Untuk membail-out AIG, pemerintah AS menggelomtorkan US$182,3 miliar, dan menjualnya US$205 miliar.

Artinya, ada keuntungan sebesar US$22,7 miliar. Di mana, dana bailout US$182,3 miliar itu berasal dari pemerintah AS dan bank sentral AS cabang New York, yang merupakan pinjaman. Dalam hal ini, pemerintah AS mendapatkan 79,9% saham AIG.

"Penting untuk dicatat, bahwa pinjaman diberikan oleh bank sentral! Pengalaman ini yang tidak dimiliki oleh Indonesia," ungkap Deni.

Terkait Jiwasraya, Deni mengusulkan pemerintah membentuk tim untuk mengevaluasi dampak sistemik dari kasus seperti Jiwasraya ini. Tentunya bukan ranah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), karena tidak ada undang-undang yang mendukung KSSK melakukan bailout terhadap Jiwasraya.

Berdasarkan undang-undang yang ada, undang-undang menutup mata bahwa kasus lembaga asuransi pasti tidak bersifat sistemik.

Halaman
12
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan