Jumat, 5 September 2025

Pengamat Energi: Impor BBM dan Minyak Mentah Tak Bisa Dihindari, Alasannya Ini

Kapasitas kilang dalam negeri hanya mampu mengolah sepertiga minyak mentah dari total kebutuhan nasional.

Tribunnews/Ibriza
KAPASITAS KILANG - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara. Kapasitas kilang dalam negeri hanya mampu mengolah sepertiga minyak mentah dari total kebutuhan nasional. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, menilai, Indonesia kini tidak mungkin hanya mengandalkan produksi minyak dari kilang domestik untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.  

Pasalnya, menurut Marwan, kapasitas kilang dalam negeri hanya mampu mengolah sepertiga minyak mentah dari total kebutuhan nasional.

“Mau tidak mau, harus impor. Kalau gak ada BBM, BBM langka, masyarakat akan ribut. Bisa menimbulkan masalah sosial,” kata Marwan kepada media hari ini (Rabu (26/2/2025).

Memang, lanjut Marwan, melalui impor tentu harus mengikuti harga dunia. ”Makanya kalau subsidi masih dipertahankan, ya apa boleh buat APBN harus membantu,” imbuhnya.

Kondisi demikian, jelas Marwan, karena kebutuhan BBM dalam negeri saat ini sekitar 1,5 juta barel per hari.

Padahal di sisi lain, kapasitas kilang dalam negeri hanya 500 ribu barel atau sepertiga dari kebutuhan. Karena itulah, impor minyak adalah upaya yang tak bisa dihindarkan.

Menurut dia, permintaan BBM dalam negeri memang terus meningkat setiap tahun. Untuk sektor transportasi sebagai pengguna BBM terbesar misalnya, jumlah kendaraan bermotor terus meningkat.

Mengutip data Korlantas Polri, total populasi kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 164.136.793 unit. Jumlah tersebut telah bertambah sebanyak 5 juta hanya dalam waktu delapan bulan.

Sementara di sisi lain, meski kendaraan listrik mulai marak, tetapi menurut Marwan populasinya masih sangat kecil dan belum bisa menurunkan permintaan BBM dalam negeri. ”Mobil listrik itu 5 persen aja belum ada paling. Motor juga lebih banyak motor non listrik,” kata dia.

Kapasitas kilang dalam negeri, lanjut Marwan, memang belum memenuhi kebutuhan BBM nasional. Terlebih, Pertamina juga harus menjalankan penugasan dari Pemerintah untuk pemenuhan BBM domestik, di seluruh wilayah Indonesia.

Baca juga: Pengungkapan Korupsi Pertalite Dioplos Jadi Pertamax Berawal dari Keluhan Warga, BBM Pertamina Jelek

Begitu pun Marwan tidak menampik bahwa Pertamina sebenarnya juga mampu membangun kilang dengan kualitas baik.

Hanya saja, produksi kilang-kilang tersebut, ternyata belum memenuhi kebutuhan BBM yang selalu meningkat. ”Akhirnya kilang yang beroperasi hanya bisa menyuplai 60-70?ri kebutuhan,” kata dia.

Kasus Impor Minyak Pertalite Dioplos Jadi Pertamax

Persoalan impor minyak ini muncul setelah pengungkapan kasus dugaan korupsi oleh kejagung.

Direktur Penyidikan Jampidsus (Dirdik) Kejagung, Abdul Qohar, menyebut perkara tersebut bermula ketika pada periode 2018-2023.

Kala itu pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri.

Namun di sisi lain, sejumlah pihak diduga melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH).

Hasil rapat dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.

Penjelasan Pertamina

Terpisah, PT Pertamina (Persero) memberikan penjelasan terkait impor minyak mentah yang terlibat dalam kasus korupsi.

VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyebut hal tersebut baru dugaan dari Kejaksaan Agung.

Baca juga: Korupsi Pertamina Pertalite RON 90 Dioplos Jadi Pertamax, DPR Segera Panggil Menteri BUMN

Fadjar menjelaskan kilang yang dimiliki Pertamina belum sepenuhnya diperbarui dengan teknologi terbaru. Alhasil, Pertamina belum bisa mengolah berbagai jenis minyak mentah.

"Itu kan baru dugaan ya, tapi minyak kilang kita ini kan belum semuanya ter-upgrade istilahnya ya. Jadi tidak se-flexible bisa mengolah berbagai jenis semacam crude," kata Fadjar saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (25/2/2025).

"Dari segi produksi kita memang masih kurang. Sedangkan konsumsi melebihi apa yang diproduksi oleh Pertamina dan juga KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang lain. Oleh sebab itu, diperlukan impor," jelas dia.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan