Sabtu, 23 Agustus 2025

Penerimaan Pajak hingga Februari 2025 Capai Rp 187,8 Triliun, Turun 30,19 Persen 

Sri Mulyani Indrawati menyatakan, penerimaan pajak sampai Februari 2025 sebanyak Rp 187,8 triliun atau setara 8,6 persen dari target.

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Sanusi
Tangkapan layar dari YouTube Kementerian Keuangan RI
APBN 2025 - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani saat konferensi pers terkait kinerja APBN 2025 bulan Januari dan Februari di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Kamis (13/3/2025). Penerimaan pajak sampai Februari 2025 sebanyak Rp 187,8 triliun atau setara 8,6 persen dari target 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, penerimaan pajak sampai Februari 2025 sebanyak Rp 187,8 triliun atau setara 8,6 persen dari target.

Realisasi itu lebih rendah 30,19 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2024 sebesar Rp 269,02 triliun.

Baca juga: Kinerja APBN 2025 Defisit Rp31,2 Triliun, Menkeu Sri Mulyani Sebut Masih Terkendali

"Penerimaan pajak Rp 187,8 triliun atau 8,6 persen dari target," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Kamis (13/3/2025).

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu memaparkan, terdapat dua faktor yang memengaruhi kinerja penerimaan pajak menurun.

Pertama, penurunan yang bersumber dari komoditas batu bara yang menurun secara tahunan 11,8 persen, brent minyak itu 5,2 persen dan nikel menurun 5,9 persen. Di satu sisi, ada juga faktor dari administrasi.

"Kalau Anda lihat penerimaan di bulan Januari Februari itu seolah-olah turun tapi sebetulnya itu adalah efek kebijakan TER atau tarif efektif rata-rata atas PPh 21 yaitu pajak atas upah gaji honor karyawan dan pegawai," ujar Anggito.

Baca juga: AHM Berharap Penundaan Kenaikan Opsen Pajak Berlanjut hingga Akhir 2025

Meski begitu, penerimaan pajak memiliki tren bulanan yang sama. Bahkan polanya sudah tergambar dari empat tahun terakhir yakni di tahun 2022, 2023 sampai 2024. 

Sehingga Anggito menilai, penerimaan pajak pada Februari yang hanya Rp 187,8 triliun bukan merupakan anomali dan bersifat normal.

"Desember itu naik cukup tinggi karena efek Nataru, akhir tahun. Kemudian menurun di bulan Januari dan Februari. Itu sama setiap tahun, jadi tidak ada hal yang anomali. Jadi sifatnya normal saja," papar dia.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan