Senin, 8 September 2025

Pemerintah Getol Cari Utang Baru Sejak Awal 2025, Ada Potensi Gejolak Ekonomi di Semester II 2025?

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan SBN sebesar Rp 413,97 triliun. 

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
UTANG PEMERINTAH - Ilustrasi, sampai dengan 17 April 2025, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan SBN sebesar Rp 413,97 triliun.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah secara agresif atau getol mencari utang baru sejak awal 2025 melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) maupun instrumen lainnya.

Sampai dengan 17 April 2025, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan SBN sebesar Rp 413,97 triliun. 

Jumlah ini setara 64,43 persen dari target pembiayaan melalui SBN dalam APBN 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 642,5 triliun.

Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Rizal Taufikurahman menyebut, langkah ini berkaitan dengan antisipasi terhadap potensi tekanan di semester II 2025, baik dari sisi eksternal seperti arah kebijakan suku bunga The Fed, ketidakpastian pasar global, maupun risiko geopolitik.

Baca juga: Menteri Maman Abdurrahman Ungkap Sulitnya Hapus Utang 1 Juta UMKM di Perbankan

"Kalau melihat tren ini, cukup besar kemungkinan realisasi penerbitan bisa tembus 75?hkan mendekati 80?ri target APBN di semester I tahun ini," ungkap Rizal dikutip dari Kontan, Selasa (13/5/2025).

Menurutnya, urgensi penerapan strategi front loading ini juga tidak terlepas dari kebutuhan pembiayaan yang tinggi di awal tahun, termasuk untuk mendukung belanja-belanja prioritas.

Dengan mengamankan pembiayaan lebih awal, pemerintah bisa memitigasi risiko volatilitas yang bisa mengganggu cost of fund ke depan. 

"Selain itu, ketika kondisi pasar masih relatif kondusif dan likuiditas memadai, tentu akan lebih efisien bagi pemerintah untuk masuk pasar lebih agresif," ungkap Rizal.

Rizal menyebut ini juga bisa memberi sinyal positif ke pasar bahwa pemerintah memiliki manajemen risiko yang antisipatif, terutama dalam menjaga stabilitas fiskal dan menjaga agar tekanan terhadap APBN tidak menumpuk di akhir tahun.

Utang Baru Rp250 Triliun

Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah menarik utang baru senilai Rp250 triliun hingga Maret 2025. 

Nilai itu setara 40,6 persen dari target Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. 

"Realisasi pembiayaan tetap sesuai yang direncanakan atau on track, yaitu mencapai Rp 250 triliun atau 40,6 persen target APBN 2025 yang sebesar Rp 775,9 triliun," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers KSSK secara virtual, beberapa waktu lalu.

Bendahara negara itu menegaskan penarikan utang baru ini akan dilakukan secara hati-hati dan terukur dengan memperhatikan outlook dari defisit APBN serta ketersediaan likuiditas pemerintah.

"Tentu mencermati dinamika pasar keuangan dan termasuk pasar obligasi, serta menjaga keseimbangan antara tingkat biaya dan resiko utang," jelasnya.

Untuk informasi, kinerja APBN pada triwulan I tahun 2025 tercatat sudah defisit sebesar Rp 104,2 triliun atau 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Meski begitu, keseimbangan primer positif Rp17,5 triliun, serta posisi kas surplus Rp145,8 triliun (SILPA). Kinerja Pendapatan Negara dan Hibah sampai dengan Maret 2025 mencapai Rp516,1 triliun atau setara 17,2 persen dari target APBN. 

Sementara Belanja Negara mencapai Rp620,3 triliun atau 17,1 persen dari pagu APBN dengan tren yang menguat di bulan Maret 2025.

Menurut Sri Mulyani, hal tersebut menunjukkan peran APBN sebagai shock absorber dapat berfungsi optimal untuk meredam gejolak perekonomian, menjaga stabilisasi ekonomi, dan menjaga daya beli masyarakat melalui pembayaran THR, Subsidi (BBM, LPG, diskon listrik, pupuk), dan Perlinsos seperti PKH, Sembako, PIP, JKN.

"Realisasi tersebut didorong oleh Belanja Pemerintah Pusat yang mencapai Rp413,2 triliun atau 15,3 persen dari target APBN dan Transfer Ke Daerah yang mencapai Rp207,1 triliun atau 22,5 persen dari target APBN," ungkap dia.

Cadangan Devisa Tertekan

Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2025 sebesar 152,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Cadangan devisa April menurun dibandingkan posisi akhir Maret 2025 sebesar 157,1 miliar dolar AS.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Ramdan Denny Prakoso mengatakan, perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Hal tersebut sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang makin tinggi. 

"Posisi cadangan devisa pada akhir April 2025 setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," kata Denny dalam keterangannya, Kamis (8/5/2025).

Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

"Ke depan, Bank Indonesia memandang posisi cadangan devisa memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor," ucap dia.

"Neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus, serta persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik," sambungnya.

Selain itu, Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan