Neraca Transaksi Berjalan RI Kembali Defisit di Kuartal II 2025 karena Ketidakpastian Global
Neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit lagi yang cukup besar pada kuartal II-2025 jika dibandingkan yang terjadi di kuartal I 2025.
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit lagi yang cukup besar pada kuartal II-2025 jika dibandingkan yang terjadi di kuartal I 2025.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) sebesar 3,01 miliar dolar AS, setara defisit 0,84 persen dari PDB di kuartal II-2025.
Posisi defisit neraca transaksi berjalan tersebut melebar jauh dibanding kuartal I-2025, yang mencatatkan defisit sebesar 228 juta dolar AS atau 0,07 persen PDB.
Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI), Banjaran Surya Indrastomo, menjelaskan bila melihat komponen CAD, yakni surplus barang sebesar US$ 10,581 juta terdiri dari non minyak dan gas (migas) defisit US$ 15,74 miliar, dan migas defisit US$ 4,19 miliar tidak cukup menutup pelebaran defisit di sisi jasa dan pendapatan.
“Pelebaran defisit jasa terutama dipicu oleh front-loading perdagangan baik ekspor maupun impor sebagai antisipasi tarif dagang AS, yang berdampak pada meningkatnya biaya logistik dan asuransi,” tutur Banjaran dikutip dari Kontan, Senin (25/8/2025).
Dari sisi pendapatan primer mencatatkan defisit sebesar US$ 9,82 miliar, terutama karena musim pembagian dividen ke investor asing dan pembayaran bunga utang luar negeri yang jatuh tempo.
Transfer berjalan masih menyumbang surplus sebesar US$ 1,74 miliar. Tekanan juga datang dari sisi transaksi keuangan yang mencatat defisit US$ 5,16 miliar.
Aliran keluar terbesar berasal dari portofolio investasi senilai US$ 8,07 miliar, meskipun masih ada masuknya Foreign Direct Investment (FDI) sebesar US$ 2,61 miliar dan other investment US$ 311 juta.
Menurut Banjaran, faktor musiman seperti rebalancing indeks global dan musim dividen memang berpengaruh, namun bukan satu-satunya penyebab.
“Faktor non-musiman tampaknya lebih dominan, terutama imbal hasil US Treasury yang masih tinggi serta kondisi ketidakpastian global yang kini menjadi new normal,” katanya.
Banjaran memperkirakan, CAD bisa menyempit seiring normalisasi biaya pengiriman dan asuransi. Meski begitu, Banjaran menyebut risiko tetap terbuka dari harga komoditas ekspor yang stagnan maupun potensi kenaikan harga minyak.
Baca juga: Prabowo Ingin APBN Indonesia Tak Ada Defisit Sebelum Masa Jabatannya Jadi Presiden Berakhir
Dari sisi keuangan, ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) dapat mendorong aliran modal kembali masuk ke Indonesia, meski arah sentimen masih akan sangat dipengaruhi faktor global dan domestik.
“Seperti yield US Treasury, pergerakan dolar AS, serta dinamika geopolitik, bersama dengan faktor domestik seperti kredibilitas fiskal, stabilitas rupiah, dan langkah kebijakan moneter BI,” jelasnya.
Secara keseluruhan, Banjaran menyebut, melihat kondisi tersebut membuat Neraca Pembayaran Indoensia (NPI) defisit cukup besar yakni US$ 6,73 miliar pada kuartal II 2025.
Baca juga: Perdagangan RI–Australia Melonjak, Nurdin Halid Optimis Defisit Perdagangan Bisa Berbalik Surplus
Sebelumnya Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, NPI akan tetap baik ditopang defisit transaksi berjalan yang rendah dalam kisaran defisit 0,5 persen sampai dengan 1,3?ri produk domestik bruto (PDB) pada 2025.
Sumber: Kontan
Kasus Korupsi CSR BI Sudah Gelar Perkara, KPK Janji Umumkan Tersangka sebelum Akhir Agustus |
![]() |
---|
Sri Mulyani Sebut Defisit APBN 2025 Diperkirakan 2,78 Persen dari PDB |
![]() |
---|
Gara-gara Defisit, Negara Ini Selalu Tunda Perjanjian Dagang dengan Indonesia |
![]() |
---|
Menkeu Sri Mulyani Perkirakan Defisit APBN 2025 Melebar Jadi Rp 662 Triliun |
![]() |
---|
Catatan Politik Senayan: Peduli pada Jutaan Angkatan Kerja Berstatus Pengangguran |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.