Sabtu, 4 Oktober 2025

Forum Konsumen Berdaya Indonesia Tolak Aturan Co-Payment, Respons AAJI dan Pertimbangan OJK

Tulus Abadi mengatakan, aturan baru itu tidak adil, sebab terlalu berpihak pada industri asuransi dan sebaliknya mereduksi hak konsumen

Penulis: Lita Febriani
Editor: Sanusi
Pexels
PRODUK ASURANSI KESEHATAN - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Surat Edaran OJK Nomor 7 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Aturan baru ini mewajibkan produk asuransi kesehatan menerapkan pembagian risiko atau co-payment yang ditanggung oleh pemegang polis. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Surat Edaran OJK Nomor 7 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.

Aturan baru ini mewajibkan produk asuransi kesehatan menerapkan pembagian risiko atau co-payment yang ditanggung oleh pemegang polis.

Melalui SE tersebut, pemegang polis wajib menanggung paling tidak 10 persen dari total pengajuan klaim. Di mana untuk rawat jalan batas maksimumnya Rp 300.000 dan rawat inap senilai Rp 3 juta untuk setiap pengajuan klaim.

Baca juga: OJK Catat Kredit Perbankan April 2025 Senilai Rp7.960 Triliun, Tumbuh 8,88 Persen

Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia Tulus Abadi mengatakan, aturan baru tersebut tidak adil, sebab terlalu berpihak pada industri asuransi dan sebaliknya mereduksi hak konsumen sebagai pemegang polis asuransi.

"Kami menduga dalam proses pembuatan SEOJK No.7/2025 tersebut tidak melibatkan representasi (lembaga) konsumen dan sebaliknya hanya melibatkan kalangan industri asuransi saja," ungkap Tulus melalui keterangan, Kamis (5/6/2025).

Tulus menyebut, jika ketentuan itu diklaim sebagai upaya untuk mengurangi perilaku moral hazard konsumen, yang diklaim sering melakukan over utilitas, jelas klaim yang absurd alias menggelikan.

"Justru yang sering melakukan dugaan tindakan moral hazard adalah industri asuransi itu sendiri, yakni seringnya menolak hak konsumen yang mengajukan klaim, dengan berbagai macam dalih yang disampaikan. Dalih tersebut umumnya diselundupkan dalam kontrak perjanjian/polis, dalam wujud klausula baku. Padahal praktik klausula baku adalah dilarang dan merupakan tindakan kriminalitas, berdasar UU No.8 Tahun 1999 ttg Perlindungan Konsumen," jelasnya.

Ia menilai, praktik klausula baku itulah yang seharusnya direformasi oleh OJK, karena sebagai bentuk konkrit moral hazard oleh industri asuransi.

"Seharusnya OJK mereformasi total format polis asuransi untuk memitigasi adanya klausula baku yang diselundupkan dalam polis asuransi tersebut. Bukan malah membuat regulasi yang justru mereduksi dan menyudutkan hak hak konsumen asuransi," imbuh Tulus.

Dari sisi bisnis dan literasi berasuransi masyarakat konsumen, SEOJK No. 07/2025 justru berpotensi untuk mereduksi minat masyarakat untuk berasuransi dan artinya menggerus ratio asuransi di Indonesia.

Apalagi wajah industri asuransi dimata publik sedang mengalami down grade karena kasus-kasus besar, seperti gagal bayar pada konsumen, bahkan kasus korupsi.

"Oleh sebab itu, FKBI menolak keras SEOJK tersebut dan mendesak agar OJK segera membatalkan/mencabut SEOJK yang justru anti terhadap perlindungan konsumen jasa asuransi dan juga kontra produktif terhadap keberlanjutan industri asuransi. SEOJK No.7/2025 juga kontra produktif thd tupoksi (tugas pokok dan fungsi) OJK yang secara historis-normatif untuk melindungi konsumen jasa keuangan di Indonesia," ucap Tulus.

Pertimbangan OJK

Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Ismail Riyadi mengatakan, tujuan diterbitkannya SEOJK 7/2025 sebagai langkah penguatan ekosistem, tata kelola, dan pelindungan konsumen dalam industri asuransi kesehatan. 

"Melalui ketentuan itu, OJK mendorong efisiensi pembiayaan layanan kesehatan jangka panjang di tengah tren inflasi medis yang terus meningkat secara global," ucap Ismail dalam keterangan resmi, Kamis (5/6/2025).

Secara umum, Ismail mengatakan, SEOJK 7/2025 mengatur lebih lanjut mengenai kriteria perusahaan asuransi yang dapat menyelenggarakan lini usaha asuransi kesehatan. Termasuk penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai bagi perusahaan asuransi dalam menyelenggarakan lini usaha asuransi kesehatan. 

Dia bilang, objek pengaturan dalam SEOJK 7/2025 ditujukan untuk produk asuransi kesehatan komersial dan tidak berlaku untuk skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Ismail juga menyebut penerbitan SEOJK 7/2025 dimaksudkan untuk mendorong setiap pihak dalam ekosistem asuransi kesehatan untuk dapat memberikan nilai tambah bagi upaya efisiensi biaya kesehatan dalam jangka panjang.

"Hal itu mengingat tren inflasi medis yang terus meningkat dan jauh lebih tinggi dari inflasi umum, dan tidak hanya di Indonesia namun juga terjadi di seluruh dunia," tuturnya.

Lebih lanjut, Ismail menyampaikan, salah satu ketentuan yang tertuang dalam SEOJK 7/2025 adalah Coordination of Benefit (CoB), yang memungkinkan koordinasi pembiayaan kesehatan apabila pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan skema JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.

Selain itu, ada juga kewajiban perusahaan asuransi dan asuransi syariah untuk menyesuaikan fitur produk asuransi kesehatan berupa penerapan pembagian risiko (co-payment).

Adapun porsi pembiayaan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan. Batas maksimumnya sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim rawat jalan dan Rp 3 juta per pengajuan klaim rawat inap.

Ismail menerangkan ketentuan tanggung jawab pemegang polis atau tertanggung paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas.

"Ditambah akan mendorong premi asuransi kesehatan yang affordable atau lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik," ujarnya.

Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, termasuk Indonesia, Ismail mengatakan, mekanisme co-payment atau deductible akan mendorong peningkatan awareness pemegang polis atau tertanggung dalam memanfaatkan layanan medis yang ditawarkan oleh fasilitas kesehatan.

Ismail bilang, dalam SEOJK itu juga terdapat kewajiban perusahaan asuransi dan asuransi syariah yang menyelenggarakan produk asuransi kesehatan untuk memiliki tenaga ahli yang memadai. Termasuk tenaga medis dengan kualifikasi dokter yang berperan untuk melakukan analisis atas tindakan medis dan telaah utilisasi (utilization review).

Dia menerangkan perusahaan asuransi dan asuransi syariah juga wajib memiliki Dewan Penasihat Medis atau Medical Advisory Board), serta sistem informasi yang memadai untuk melakukan pertukaran data secara digital dengan fasilitas kesehatan.

Menurut Ismail, ketiga hal itu dimaksudkan agar perusahaan dapat melakukan analisis terhadap efektivitas layanan medis dan layanan obat yang diberikan oleh fasilitas kesehatan berdasarkan data digital yang dikumpulkan.

"Selain itu, dimaksudkan juga memberi masukan kepada fasilitas kesehatan secara berkala melalui mekanisme utilization review," katanya.

Lebih lanjut, Ismail menjelaskan SEOJK 7/2025 merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 3B ayat (3) Peraturan OJK (POJK) Nomor 36 Tahun 2024 tentang Perubahan atas POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Adapun SEOJK 7/2025 mulai berlaku per 1 Januari 2026. 

OJK menyatakan pertanggungan atau kepesertaan atas produk asuransi kesehatan yang sudah berjalan pada saat SEOJK 7/2025 ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa pertanggungan atau kepesertaan berakhir.

Ismail menerangkan bagi produk asuransi kesehatan yang dapat diperpanjang secara otomatis dan telah mendapatkan persetujuan OJK atau dilaporkan kepada OJK sebelum SEOJK 7/2025 berlaku, harus disesuaikan dengan SEOJK tersebut paling lambat 31 Desember 2026.

Ismail mengatakan OJK akan terus melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi SEOJK 7/2025 untuk memastikan ketentuan berjalan efektif dan memberikan manfaat optimal bagi seluruh pihak, termasuk pemegang polis, tertanggung, atau peserta. 

Respons AAJI

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyambut baik terbitnya SEOJK Nomor 7 Tahun 2025. 

Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon mengatakan adanya SEOJK itu sebagai langkah strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.

"Regulasi itu hadir sebagai jawaban atas tantangan industri, khususnya yang terkait dengan pengendalian biaya klaim, transparansi manfaat, serta perlindungan hak masyarakat," ungkapnya dalam konferensi pers AAJI, Rabu (4/6/2025).

Lebih lanjut, Budi memandang aturan itu sebagai peluang untuk membangun sistem asuransi kesehatan yang lebih adil dan efisien.

Oleh karena itu, Budi mengatakan AAJI secara aktif berkoordinasi dengan OJK agar implementasi regulasi yang tertuang dalam SEOJK 7 Tahun 2025 tetap selaras dengan dinamika industri, sekaligus menjaga keseimbangan antara kemampuan perusahaan dan pelindungan yang optimal bagi masyarakat.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved