Minggu, 10 Agustus 2025

Tambang Nikel di Raja Ampat

Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, HIPMI: Perlu Pendekatan Berimbang dan Berkelanjutan

Di tengah diskusi tersebut, sejumlah pelaku industri menilai bahwa sektor tambang tetap memiliki peran strategis dalam mendukung perekonomian nasional

Penulis: Reza Deni
dok.
aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, merusak alam dan mengancam status Raja Ampat sebagai kawasan wisata strategis nasional. DPR meminta pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh seluruh perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik mengenai aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi perhatian publik. Isu ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan. 

Di tengah diskusi tersebut, sejumlah pelaku industri menilai bahwa sektor tambang tetap memiliki peran strategis dalam mendukung perekonomian nasional dan agenda transisi energi.

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (ASPEBINDO), Anggawira, menyampaikan bahwa industri tambang saat ini tidak bisa lagi dipandang sebagai aktivitas ekonomi tradisional.

Menurutnya, sektor ini telah menjadi bagian penting dari rantai pasok global.

"Kita tidak sedang membicarakan tambang dalam konteks lama. Ini tentang nikel dan tembaga sebagai kunci baterai, kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi global. Tanpa kontribusi Indonesia, dunia akan kesulitan," ujar Anggawira dalam keterangannya, MInggu (8/6/2025).

Sektor tambang diketahui menyumbang sekitar 6–7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Industri ini juga menciptakan lapangan kerja, menyumbang pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dan royalti yang terus meningkat. Pemerintah telah memperkuat kerangka regulasi melalui UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, untuk mendorong hilirisasi serta pengawasan lingkungan yang lebih ketat.

Baca juga: Ancaman Tambang Nikel di Raja Ampat dalam Perspektif Pariwisata: Siapa yang Bisa Jamin Ekologinya?

Meski demikian, Anggawira menilai bahwa tantangan utama terletak pada penegakan hukum dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.

"Kita butuh tambang yang legal, berkelanjutan, dan modern. Pemerintah harus tegas menindak pelanggaran, tapi juga melindungi dan memberi insentif bagi perusahaan patuh hukum," katanya.

Anggawira mencontohkan beberapa perusahaan nasional yang telah menerapkan praktik pertambangan berkelanjutan. Di antaranya adalah:

- PT Bumi Resources Tbk (BUMI), melalui Kaltim Prima Coal dan Arutmin, aktif melakukan reklamasi dan konservasi keanekaragaman hayati.

- PT Merdeka Copper Gold Tbk mengelola tambang emas dan tembaga dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dan transparansi operasional.

- PT Vale Indonesia melakukan revegetasi lahan pascatambang dan pembangunan smelter nikel.

- PT Freeport Indonesia mengembangkan tambang bawah tanah dan fasilitas pengolahan di Gresik.

- PT Bukit Asam (PTBA) mengonversi bekas tambang menjadi kawasan ekowisata dan pertanian produktif.

Baca juga: UPDATE: Korban Tewas Longsor Tambang Cirebon Terus Bertambah, Kini 21 Orang, Ini Daftar Identitasnya

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, lebih dari 30 perusahaan tambang memperoleh penghargaan PROPER Hijau dan Emas pada tahun 2023 atas komitmen mereka terhadap lingkungan.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan