Minggu, 28 September 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

Anggota DPR: Kesepakatan Dagang RI-AS Bersifat Transaksional, Tidak Setara

Amin mendorong sejumlah langkah konkret dari pemerintah agar kepentingan nasional tidak tergerus dari kesepakatan dagang RI-AS.

Istimewa
TARIF IMPOR TRUM - Anggota Komisi VI DPR RI Amin AK. Indonesia seolah membeli keringanan tarif dengan membuka pasar secara besar-besaran bagi produk Amerika, sementara produk ekspor nasional tetap dibatasi dan dikenai bea masuk lebih tinggi dibanding negara lain. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, menyoroti kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat yang menetapkan tarif ekspor Indonesia sebesar 19 persen ke pasar AS.

Amin menilai, meskipun kesepakatan ini berhasil meredam ancaman tarif hingga 32 persen dari AS, hal itu dibayar mahal oleh Indonesia melalui pembelian produk-produk strategis asal Negeri Paman Sam.

“Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah meredam ancaman tarif 32 persen dari AS, yang dapat merugikan ekspor Indonesia. Namun, tarif 19 persen yang disepakati dibayar mahal lewat pembelian energi, pangan, dan 50 pesawat Boeing senilai total USD 34 miliar (Rp 552 triliun),” ujar Amin saat dihubungi, Rabu (16/7/2025).

Menurut politisi Fraksi PKS itu, kesepakatan ini bukanlah bentuk kebaikan tulus dari pemerintah AS, melainkan transaksi dagang yang sarat tekanan.

Baca juga: Trump Klaim Indonesia Setuju Bayar Tarif 19 Persen dan Beli 50 Pesawat Boeing

“Kesepakatan ini bersifat transaksional, bukan sebuah kesepakatan yang setara. Indonesia ‘membayar di muka’ demi keringanan tarif, tanpa jaminan nilai tambah atau timbal balik bagi ekonomi nasional,” lanjutnya.

Ia juga menilai bahwa pembebasan tarif untuk produk AS yang masuk ke Indonesia menimbulkan ketimpangan. Sedangkan, jika dilihat dari sisi angka, ini kesepakatan yang timpang.

"Ekspor Indonesia ke AS dikenakan tarif 19 persen, sementara barang-barang dari AS—mulai dari gandum, jagung, hingga pesawat terbang—masuk ke Indonesia tanpa dikenakan tarif yang sepadan,” kata Amin.

Amin mempertanyakan prinsip timbal balik yang selama ini digaungkan pemerintah AS, termasuk di masa Presiden Donald Trump

Menurutnya, Indonesia seolah membeli keringanan tarif dengan membuka pasar secara besar-besaran bagi produk Amerika, sementara produk ekspor nasional tetap dibatasi dan dikenai bea masuk lebih tinggi dibanding negara lain.

“Artinya, Indonesia tetap diposisikan sebagai mitra dagang kelas dua. Ini lebih seperti ‘kesepakatan dagang yang bersifat kompromistis di bawah tekanan’, bukan yang memperkuat posisi tawar dan kedaulatan ekonomi kita,” tegasnya.

Untuk itu, Amin mendorong sejumlah langkah konkret dari pemerintah agar kepentingan nasional tidak tergerus. 

Pertama, ia meminta transparansi penuh dari tim negosiator yang dikomandoi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian atas isi lengkap kesepakatan, termasuk klausul tersembunyi seperti akses pasar, sistem pembayaran digital (QRIS), hingga standar halal.

Kedua, ia menekankan pentingnya renegosiasi klausul tarif agar lebih adil dan timbal balik. “Jika ekspor kita dikenai tarif 19 persen, produk AS juga semestinya tidak bebas masuk,” ujarnya.

Ketiga, ia mengingatkan agar pembelian besar-besaran produk AS, khususnya di sektor energi dan pangan, tidak merugikan sektor produksi dalam negeri. 

“Kita tak boleh terus bergantung pada impor jagung dan gandum sementara petani lokal terabaikan,” tambahnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan