Senin, 29 September 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

Guru Besar UI Rhenald Kasali Ingatkan Indonesia Tidak Terlena Tarif 19 Persen dari AS

Rhenald Kasali mengingatkan pemerintah dan pelaku usaha untuk tidak cepat puas dengan capaian penurunan tarif ekspor

Editor: Sanusi
Theresia Felisiani/tribunnews.com
TARIF TRUMP - Guru Besar Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali mengingatkan pemerintah dan pelaku usaha untuk tidak cepat puas dengan capaian penurunan tarif ekspor yang lebih rendah dibandingkan negara lain. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali mengingatkan pemerintah dan pelaku usaha untuk tidak cepat puas dengan capaian penurunan tarif ekspor yang lebih rendah dibandingkan negara lain.

Tarif ekspor ke Amerika Serikat kini sebesar 19 persen, lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN lain. Tarif ekspor Indonesia ke AS saat ini adalah 19 persen, sementara Vietnam dikenakan 20 persen, Malaysia 25 persen, Thailand 36 persen, dan Laos 40 persen.

Baca juga: Tarif Impor Amerika 19 Persen Belum Tentu Berlaku 1 Agustus 2025, Bisa Lebih Cepat atau Lambat

Rhenald mengingatkan agar Indonesia tidak terlena. Lantaran, struktur biaya produksi di negara tetangga justru mengalami efisiensi besar-besaran, membuat produk mereka jauh lebih kompetitif di pasar global.

"Vietnam melakukan transformasi besar-besaran. Mereka menciptakan keadaan ekonomi yang sangat kompetitif. Di sisi lain, cost logistik kita masih tinggi, padahal infrastruktur kita sudah dibangun besar-besaran sejak masa pandemi,” ujar Rhenald di Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Ia memberi ilustrasi, meski tarif ekspor Indonesia ke beberapa negara diturunkan menjadi 19 persen, namun negara tetangga seperti Malaysia mampu memproduksi barang dengan harga jauh lebih murah.

“Kalau produk tekstil kita dijual 1 juta per ton, Malaysia bisa jual 800 ribu. Meski mereka dikenakan tarif 30 persen, hitungannya masih lebih murah dari kita,” jelasnya.

Rhenald menekankan, pelaku usaha dan pemerintah tidak bisa hanya fokus pada besaran tarif. Yang lebih penting menurutnya adalah menata ulang ekosistem industri agar mampu menurunkan cost structure secara menyeluruh.

Ia menyoroti beberapa hal yang masih jadi beban biaya, seperti biaya koneksi biometrik ke Dukcapil, serta masalah biaya digital signature yang belum didukung ekosistem efisien. 

“Hal-hal seperti ini membuat cost kita tinggi. Jadi kalau hanya melihat tarif tanpa memperbaiki struktur biaya, kita akan tertinggal,” tegasnya.

Baca juga: Menko Airlangga Sebut Tarif Impor Trump 19 Persen Sudah Final: Tak Revisi Lagi, Terendah di ASEAN

Menurutnya, kondisi ini menjadi peluang sekaligus peringatan. Indonesia perlu belajar dari Tiongkok yang mampu menerapkan sistem produksi ultra low cost.

Tak hanya itu, ia juga menyinggung ekonomi digital Indonesia yang saat ini sedang tumbuh, namun masih terfokus pada sektor hilir seperti e-commerce. Ia mendorong pemerintah untuk memberikan insentif ke sektor hulu digital agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar, melainkan juga produsen teknologi digital.

"Ekonomi digital kita naik dari 4 persen ke 5 persen, tapi masih di hilir. Kalau mau masuk ke hulu, pemerintah harus kasih insentif. Jangan sampai kita hanya jadi pengguna, bukan pencipta," tutupnya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan