Minggu, 10 Agustus 2025

Beras Oplosan

Ombudsman: Oplos Beras Itu Praktik yang Lazim, Lumrah Terjadi Sejak Dulu

praktik pengoplosan atau pencampuran beras sebenarnya adalah hal yang wajar dan sudah berlangsung sejak lama.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
BERAS OPLOSAN - Petugas menunjukkan barang bukti saat konferensi pers hasil penyidikan perkara dugaan beras oplosan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Dittipideksus Bareskrim Polri melalui Satgas Pangan Polri menetapkan Direktur Utama Food Station Karyawan Gunarso, Direktur Operasional Food Station Ronny Lisapaly dan Kepala Seksi Quality Control Food Station sebagai tersangka kasus dugaan beras oplosan atau beras yang tidak memenuhi standar mutu dan kualitas. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut praktik pengoplosan atau pencampuran beras sebenarnya adalah hal yang wajar dan sudah berlangsung sejak lama.

Yeka mengaku kurang setuju dengan penggunaan istilah “oplos” yang belakangan ramai digunakan untuk menyebut beras campuran.

Ia mencontohkan bagaimana pencampuran beras antarvarietas itu tidak masalah selama tidak merugikan konsumen. Contohnya seperti antara varietas Inpari 32 dengan Ciherang.

Kemudian contohnya lagi percampuran antara beras Pandan Wangi dan Cilamaya.

Beras Pandan Wangi yang memberi aroma wangi, kalau dicampur dengan beras Cilamaya disebut tetap saja aroma wanginya akan muncul.

"Beda varietasnya, tapi sama-sama bentuk berasnya itu panjangan. Boleh enggak dicampur? Boleh. Bentuk fisiknya kalau sudah jadi beras enggak bisa dibedakan, bentuk rasanya juga nggak bisa dibedakan," katanya kepada wartawan di Jakarta, dikutip Sabtu (9/8/2025).

Selain itu, mencampur beras antar mutu fisik berasnya juga dinilai tak bermasalah.

"Jadi butir patah, butir utuh, itu boleh dicampur. Terus juga proses pencampuran antara beras lama dengan beras baru," ujar Yeka.

"Terus juga kalau saya main ke Bulog, pencampuran antar beras dalam dan luar negeri itu sah-sah saja. Selama itu diperdagangkan, itu aman konsumsi," lanjutnya.

Yeka menilai praktik mencampur beras justru menguntungkan masyarakat karena menciptakan variasi harga.

Baca juga: Kasus Beras Oplosan Terungkap, Konsumen Pilih Pasar Tradisional dan Penggilingan

Dia bilang, adanya harga beras yang bervariasi mulai dari Rp 12.000 hingga Rp 16.500 itu akibat ada proses pencampuran.

"Jadi, oplosan itu praktik yang lazim saja. Pencampuran itu lumrah terjadi dari sejak dulu, mungkin dari sejak saya lahir," kata Yeka.

Ia pun menegaskan bahwa hal yang tidak dibolehkan adalah membohongi konsumen. Yeka menyebut pencampuran beras yang tidak boleh itu jika melibatkan beras SPHP.

Beras SPHP yang sudah dikemas oleh Bulog tidak boleh dibuka, dicampur, lalu dijual kembali dengan harga komersial.

Berikutnya yang tidak boleh lagi adalah pemalsuan label. Contohnya beras Rojolele, tapi ternyata di dalamnya bukan. Ini berarti membohongi konsumen.

Pemalsuan label itu juga seperti misalnya yang dicantumkan adalalah campuran pandan wangi 70 persen dan cilamaya 30 persen, tetapi kenyataannya 50-50.

Baca juga: Lonjakan Pembeli di Pasar Tradisional Imbas Kasus Beras Oplosan, Pedagang: Alhamdulillah Ramai

Kata Pemerintah Soal Boleh Campur Beras

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menjelaskan bahwa praktik mencampur beras memang ada berupa pencampuran butir patah dengan butir kepala.

Namun pencampuran tersebut harus sesuai standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah.

"Kalau beras itu pasti dicampur. Kenapa dicampur? Karena ada butir utuh dan butir patah. Nah kalau beras premium itu butir utuhnya dicampur dengan butir patah sampai 15 persen," kata Arief.

"Bukan dioplos dengan beras busuk terus diaduk. Ini karena kualitas adalah kualitas. Ini yang harus dijaga," jelasnya.

Terkait itu, kelas mutu beras premium telah diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.

Untuk beras premium harus memiliki kualitas antara lain memiliki butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah/hitam) maksimal 1 persen, butir gabah dan benda lain harus nihil.

Tidak jauh berbeda, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 beras premium non organik dan organik harus mempunyai komponen mutu antara lain butir patah maksimal 14,50 persen; butir kepala minimal 85,00 persen; butir menir maksimal 0,50 persen; butir merah/putih/hitam maksimal 0,50 persen; butir rusak maksimal 0,50 persen; butir kapur maksimal 0,50 persen; benda asing maksimal 0,01 persen, dan butir gabah maksimal 1,00 per 100 gram.

"Kalau istilah oplosan itu cenderung berkonotasi negatif. Seperti misalnya minyak seharga Rp 15.000, tapi dicampur dengan minyak seharga Rp 8.000, lalu dijual dengan harga Rp 15.000. Nah itu maksudnya oplos," ungkap dia.

"Di beras, kita punya batas maksimal beras patah 15 persen. Apabila butir utuh tadi dicampur dengan 15 persen butir patah, itulah beras premium dan memang begitu standar mutunya. Jadi pencampuran beras tapi tidak melampaui standar mutu itu biasa dan lumrah," tambah Arief.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan