Sabtu, 13 September 2025

Pemerintah Daerah Didorong Selaras dengan Pusat Terkait Izin Pertambangan Rakyat

Presiden Prabowo menekankan bahwa pertambangan rakyat harus diberi tempat yang ramah dalam ekosistem minerba.

Penulis: Erik S
Istimewa
SEKTOR PERTAMBANGAN - Ilustrasi. engurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menyoroti mengenai nasib penambang-penambang rakyat yang beroperasi di wilayah abu-abu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menyoroti mengenai nasib penambang-penambang rakyat yang beroperasi di wilayah abu-abu.

Hal itu disebabkan para penambang tersebut belum mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba serta peraturan turunannya.

IPR adalah izin yang diberikan kepada perseorangan atau koperasi penduduk setempat untuk melakukan kegiatan pertambangan skala kecil di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan luas terbatas dan teknologi sederhana.

Baca juga: Pemerintah Daerah Diminta Percepat Proses Izin Pertambangan Rakyat: Jangan Birokrasi Jadi Penghambat

Sekjen Pengurus Pusat KAMMI 2024-2026 Nazmul Wathan mengatakan penambang rakyat bekerja di wilayah tambang tanpa perlindungan hukum, sehingga rentan terhadap kriminalisasi, kecelakaan kerja, hingga konflik sosial dengan perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP).

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia adalah sebuah organisasi kemahasiswaan eksternal dengan mengusung ideologi Islamisme di Indonesia.

"NTB adalah contoh nyata bagaimana lambannya birokrasi dapat menimbulkan cakrawala sekaligus memperlebar kesenjangan hukum antara kebijakan pusat dengan kenyataan di lapangan," kata Nazmul Wathan, Senin (8/9/2025).

Menurut Nazmul kinerja pemerintah daerah kurang cepat dalam memproses IPR.

Kondisi tersebut kontras dengan semangat yang sering digaungkan di tingkat nasional. Presiden Prabowo Subianto, dalam berbagai kesempatan, menegaskan komitmennya mendukung pertambangan rakyat.

Baginya, sektor ini bukan sekadar soal eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga instrumen pemerataan ekonomi, pemberdayaan desa, serta pengurangan ketergantungan masyarakat pada pekerjaan informal yang rawan konflik.

"Komitmen Prabowo tercermin dari arah kebijakan energi dan sumber daya alam yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama, bukan sekadar penonton di industrialisasi tambang," ungkap Nazmul Wathan.

Di saat Presiden Prabowo menekankan bahwa pertambangan rakyat harus diberi tempat yang ramah dalam ekosistem minerba, Pemprov NTB justru terlihat lamban, seolah-olah terjebak dalam pola lama yang lebih mementingkan kepentingan birokrasi dibandingkan kepentingan rakyat kecil. 

"Lambannya izin ini tidak hanya menunda legalitas, tetapi juga berimplikasi pada hilangnya potensi penerimaan daerah karena aktivitas rakyat tidak tercatat secara resmi," ujar Nazmul Wathan.

Fenomena demikian menunjukkan lemahnya fungsi desentralisasi. Otonomi daerah seharusnya memberi keleluasaan bagi Pemprov NTB untuk menyesuaikan regulasi pusat dengan kondisi lokal. Namun yang terjadi justru sebaliknya: alih-alih melahirkan kebijakan adaptif, otonomi justru menjadi alasan bagi implementasi lambannya.

"Hal ini menimbulkan kesan bahwa Pemprov NTB belum menempatkan pertambangan rakyat sebagai prioritas pembangunan daerah," kata Nazmul Wathan.

Kesesuaian dengan komitmen Presiden Prabowo juga memunculkan pertanyaan kritis: apakah kebijakan pusat akan berhenti di tingkat retorika tanpa mekanisme kontrol yang efektif di daerah? Jika pemerintah daerah tetap lamban, maka janji presiden bisa tereduksi hanya sebagai narasi politik tanpa dampak nyata. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan