Calon Presiden 2014
Vikram Nehru: Demokrasi Indonesia Hadapi Ujian Berat
Mantan Kepala Ekonomis Bank Dunia, Vikram Nehru, menekankan bahwa pemilu presiden 9 Juli lalu merupakan peristiwa yang luar biasa.
Editor:
Hasanudin Aco
Laporan Koresponden Tribunnews.com di Tokyo, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Mantan Kepala Ekonomis Bank Dunia, Vikram Nehru, menekankan bahwa pemilu presiden 9 Juli lalu merupakan peristiwa yang luar biasa.
Itu terorganisasi dengan baik, bebas dari ketegangan dan kekerasan, sangat transparan, dan dilaksanakan dengan kebanggaan warga yang sangat besar.
Itu adalah perayaan demokrasi dan tampilan yang mengesankan dari kedewasaan politik. Demikian ungkap Vikram dalam tulisannya di koran ekonomi Jepang, Nikkei hari ini (14/7/2014).
Meskipun Vikram telah memuji, masih ada yang kurang di matanya, "Sayangnya, apa yang terjadi tampaknya kurang dapat disebutkan sebagai perayaan. Demokrasi yang semakin matang di Indonesia kini menghadapi ujian yang berat," tulisnya.
Selain itu, hal kedua, kandidat telah mengklaim kemenangan. Keduanya telah merujuk kepada "quick count" - proyeksi statistik dari hasil resmi oleh lembaga survei swasta.
Hampir semua yang terkenal dengan track record yang kuat untuk akurasi menunjukkan kemenangan Jokowi dengan selisih 3-5 poin persentase.
Beberapa tim survei dengan sedikit atau tanpa track record dari pendahulunya dipertanyakan, menunjukkan kemenangan Prabowo.
Fokus nasional sekarang telah bergeser ke proses penghitungan. Pada tanggal 12 Juli suara telah dihitung di 478.685 TPS.
Dalam beberapa hari mendatang, penghitungan ini akan ditabulasi dan dikumpulkan secara manual di lima tingkat yang berbeda - desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional.
Agregasi pada setiap tingkat dirancang untuk menjadi transparan dan kuat, tetapi hanya akan sebaik sesuai orang yang menjalankannya.
Merusakkan hasil dengan agregasi terdeteksi akan hampir mustahil, tetapi tidak dapat diberhentikan sama sekali. Kedua kandidat akan memiliki perwakilan yang hadir pada setiap tahap untuk memastikan sistem diikuti.
Fase ini, dijadwalkan selesai pada 22 Juli secara luas diperkirakan menunjukkan bahwa Widodo memenangkan pemilihan.
Pada tahap berikutnya di mana proses pemilihan bisa lebih rentan. Menurut Vikram, "Jika Jokowi menang, Subianto akan hampir pasti menantang penghitungan resmi di Mahkamah Konstitusi, meskipun ia telah menyatakan ia akan mematuhi hasil dari proses resmi.
Manajer kampanyenya, Mahfud MD, adalah kepala hakim mahkamah konstitusi pada satu waktu dan bisa menangani kasus tangguh. Dia akan memiliki bahan yang cukup dari mana untuk bekerja."
Menurutnya lagi, Mahfud akan menerapkan keahliannya pada Mahkamah Konstitusi melemah setelah penggantinya, Akil Mochtar, yang pada bulan Juni lalu dijatuhkan hukuman seumur hidup karena korupsi.
Lembaga terkepung sekarang harus menahan tekanan politik yang intens dan pengawasan saat mengadili tantangan terhadap proses pemilu.
Perannya akan sangat penting. Keputusan MK adalah final dan tidak tunduk pada banding.
"Jadi limbo pemilu di Indonesia akan berlangsung tidak hanya sampai dengan 22 Juli, karena beberapa hal. Jadi bisa berlanjut hingga 24 Agustus, tanggal di mana Mahkamah Konstitusi harus membuat putusan akhir. "
Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi akan sama pentingnya. Tidak hanya kedua kandidat harus menerima keputusan tersebut, sehingga harus pengikut mereka.
Meskipun permintaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke luar untuk menahan diri oleh kedua belah pihak, suhu cenderung meningkat sebagai proses lebih lanjut ke depan. Negara ini terbagi.
Passions berjalan tinggi, tekannya. "Pelaksanaan penghitungan dua kandidat selama enam minggu ke depan akan menjadi faktor penting. Terbuka - atau rahasia - sinyal untuk melemahkan proses tabulasi akan bertemu dengan perlawanan sengit. Banyak yang dipertaruhkan.
Kedua kandidat telah menawarkan pandangan yang sangat berbeda untuk masa depan Indonesia. Nasib politik dan keuangan individu yang kuat dari tiap kelompok akan dibuat dan hilang pada hasil pemilu. Tidak ada pihak yang akan menyerah dengan mudah."
Ketegangan yang luar biasa tersebut, menurutnya, akan menguji tidak hanya lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia tetapi juga mandat demokratis pemimpin dan pengikut mereka.
Perlu diingat bahwa demokrasi di Indonesia terhitung masih muda, hampir 15 tahun. Lembaga-lembaga yang mendukung demokrasi telah jatuh tempo, tetapi kompetensi dan independensi mereka tetap diragukan dan belum pernah diuji dalam cara mereka yang sedang diuji sekarang.
Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, menurutnya lagi, yang batas jangka waktru kekuasaannya berakhir pada bulan Oktober, memiliki peranan sangat penting dalam memastikan bahwa proses pemilu untuk memilih penggantinya tidak hanya harus adil tapi dilihat untuk bersikap adil.
Meskipun reputasi untuk keraguan, ia telah berhasil memunculkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang hidup, ekonomi yang kuat dan anggota dihormati dari Kelompok 20 (G20).
SBY dianggapnya, tidak ingin melihat warisan ternoda oleh salah langkah dalam transisi ke pemimpin berikutnya di Indonesia. Untuk menjaga warisan itu, SBY harus melakukan segala daya untuk memberikan Komisi Pemilihan negara dan Mahkamah Konstitusi, ruang yang cukup, tulang punggung dan kemandirian untuk melakukan pekerjaan yang kredibel.
Indonesia sedang memasuki satu lagi waktu yang singkat tapi penting yang akan menata demokrasi dan menandakan arah yang ingin diambil sebagai bangsa.
Pernah mengalami masa lalu yang lebih buruk dan muncul lebih baik untuk itu. Demi rakyatnya, kawasan dan dunia, mari kita berharap dapat melakukannya lebih baik lagi, harapnya.