Bagaimana tanggapan kaum muda Jepang terhadap pilot kamikaze era Perang Dunia II?
Lebih dari 70 tahun setelah aksi para pilot kamikaze, wartawan BBC bertanya kepada kaum muda Jepang mengenai tindakan para pilot tersebut.
"Justru karena saya tidak mampu melakukan (kamikaze), saya menganggapnya sebagai aksi heroik dan berani," kata Sho.
Pemuda seperti Sho, kenyataannya jarang ditemui. Berdasarkan jajak pendapat Win/Gallup, hanya 11% rakyat Jepang yang bersedia berperang untuk negaranya.
Hasil itu sama sekali tidak mengagetkan mengingat generasi pascaPerang Dunia II di Jepang dibesarkan oleh konstitusi yang melarang Jepang mempunyai militer.

'Saya tidak ingin mati'
Lepas dari pandangan kaum muda terhadap pilot kamikaze, benarkah para penerbang itu siap mati untuk negaranya ketika mengudara pada usia 17 hingga 24 tahun?
Ketika saya berbincang dengan dua mantan pilot kamikaze, yang kini berusia 90-an tahun, jawabannya tidak.
"Menurut saya, 60% hingga 70% dari kami betul-betul ingin mengorbankan diri untuk kaisar, tapi sisanya mungkin mempertanyakan mengapa kita harus bunuh diri," kata Osamu Yamada, mantan pilot kamikaze yang berusia 94 tahun.
Ditemui di kediamannya di Nagoya, Yamada mengaku tidak sempat menjalankan misi bunuh diri karena perang keburu usai.
"Saya lajang saat itu dan tidak ada yang mengekang, sehingga saya asli berpikir untuk mengorbankan diri demi membela Jepang. Namun, bagi mereka yang sudah berkeluarga, mereka pasti punya pikiran lain," kata Yamada.
Keiichi Kuwahara, 91, merupakan salah satu penerbang yang tidak bisa berhenti memikirkan keluarganya. Dia mengisahkan momen ketika dia diperintahkan menjadi pilot kamikaze.
"Saya bisa merasakan diri saya menjadi pucat. Saya takut. Saya tidak ingin mati," papar Kuwahara yang saat itu berusia 17 tahun.
"Saya kehilangan ayah setahun sebelumnya, sehingga hanya ada ibu dan kakak perempuan untuk bekerja menopang keluarga. Saya mengirim uang gaji ke mereka. Saya pikir, apa yang terjadi jika saya mati? Bagaimana keluarga saya bisa makan?"
Keraguan Kuwahara terjawab. Ketika mesin pesawatnya rusak dan dia terpaksa kembali, dia merasa lega.
Meski demikian, di atas kertas, Kuwahara dianggap telah menjadi sukarelawan kamikaze.
"Apakah saya terpaksa atau saya sukarela? Itu pertanyaan yang sulit dijawab jika Anda tidak memahami esensi militer," ujarnya.