Sabtu, 13 September 2025

Cerita Pengungsi Rohingya Terkatung-katung di Laut, Jenazah Dibuang ke Laut di Malam Hari

Para penyelundup manusia yang membawa mereka, menjanjikan membawa ke Malaysia.

Editor: Hasanudin Aco
nytimes.com
Anak-anak pengungsi Rohingya terancam kesehatan mentalnya. 

“Awalnya saya takut,” kata Khadiza. “Saya tidak tahu akan seperti apa nasib kami. Namun setelah duduk, kami mulai bermimpi lagi”.

“Saya pikir, kami akan meraih hidup yang lebih baik. Maka kesulitan apapun yang harus kami lalu tidak masalah”.

Kematian di toilet

Perahu itu tidak punya fasilitas seperti air dan sanitasi.

Khadiza mandi hanya dua kali dalam dua bulan dengan mengambil air dari laut, di depan orang-orang.

Toilet hanya berupa dua papan dengan lubang di tengah-tengah.

“Beberapa hari sesudah kami memulai perjalanan ke Malaysia, seorang bocah terjatuh dari lubang itu ke laut,” kata Khadiza.

“Ia jatuh dan mati”.

Itulah kematian pertama yang dilihat oleh Khadiza.

Mencapai Malaysia

Sesudah berlayar selama tujuh hari, terkadang di tengah badai dan ombak yang tinggi, mereka akhirnya bisa melihat pantai Malaysia.

Di situ, mereka menunggu datangnya perahu yang lebih kecil untuk mengangkut mereka ke darat.

Namun tak ada yang datang.

Wabah virus corona membuat Malaysia mengetatkan keamanan mereka, dan penjaga pantai lebih sering berpatroli sehingga sulit untuk menyelinap masuk ke sana.

Kapten kapal berkata ia tak bisa mendaratkan para pengungsi ini ke Malaysia.

Harapan Khadiza berantakan karena pandemi.

Minum air laut

Mereka harus mundur dan mulai kehabisan makanan dan air.

Dalam perjalanan ke Malaysia, mereka diberi nasi dua kali sehari, terkadang dengan lentil, dan segelas air.

"Awalnya, sekali makan sehari. Lalu sekali setiap dua hari – hanya nasi, tanpa lauk."

Kurangnya air minum mulai tak tertahankan.

Menurut Khadiza, karena putus asa beberapa pengungsi bahkan minum air laut.

“Orang menghilangkan haus dengan memasukkan pakaian ke dalam laut, lalu meneteskannya ke mulut mereka”.

Kesempatan kedua

Beberapa hari kemudian, dari pantai Thailand, sebuah perahu kecil yang diatur oleh penyelundup datang membawa perbekalan.

Namun ketika sedang mencari kesempatan untuk masuk ke Malaysia, Angkatan Laut Burma mencegat mereka.

“Angkatan laut menangkap kapten dan tiga awak kapal. Tapi mereka dilepaskan,” kata Khadiza.

“Kuduga mereka bikin kesepakatan”.

Kesempatan kedua untuk mendarat di Malaysia juga gagal.

Pemberontakan di kapal

Jelas bagi semua bahwa perahu ini tidak akan kemana-mana.

“Kami terombang-ambing di laut, tanpa harapan akan mendarat. Orang-orang mulai putus asa. Kami terus bertanya, sampai kapan bisa bertahan”.

Maka sekelompok pengungsi datang ke awak kapal dan memohon untuk didaratkan di masa saja, tak peduli apakah itu Myanmar atau Bangladesh.

Namun awak kapal menolak.

Terlalu riskan, kata mereka. Mereka bisa ditangkap dan perahu bisa disita.

Saat perahu terombang-ambing tanpa tujuan di Teluk Benggala, cerita bahwa awak kapal melakukan pemerkosaan dan penyiksaan mulai beredar.

“Lalu segalanya mulai tak terkendali,” kata Khadiza.

“Saya dengan salah seorang awak kapal diserang dan dibunuh. Jenazahnya dibuang ke laut”.

Di perahu itu, ada 10 orang Burma mengawasi sekitar 400 pengungsi.

“Mereka sadar akan sulit kalua mereka melawan”.

Lalu awak kapal meminta uang lebih banyak untuk menyewa perahu kecil guna membawa pengungsi ke daratan.

Mereka berhasil mengumpulkan US$1.200 (Rp17,5 juta).

Setelah beberapa hari, sebuah perahu kecil mendekat.

Segera saja kapten dan hamper semua awak kapal melompat ke sana dan kabur.

Mereka yang tinggal berhasil melayarkan perahu ke Bangladesh dengan dibantu dua awak kapal yang tersisa.

Kehilangan segalanya

“Saya gembira sekali ketika akhirnya berhasil melihat daratan setelah dua bulan,” kenang Khadiza.

Ia dan anak-anaknya kembali di Bangladesh lagi.

Sesudah menghabiskan waktu dua minggu karantina, Khadiza kembali ke kamp pengungsi, dan menemukan tempat lamanya sudah ditempati oleh keluarga lain.

Ia tak punya harapan kembali ke Myanmar untuk hidup di tanah tempatnya bercocok tanam dahulu.

Kini ia harus berbagi ruang yang kecil bersama anak-anaknya.

“Aku kehilangan segalanya demi mimpiku,” katanya sambil merenung.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan