Krisis Myanmar
Lagi, Sembilan Demonstran di Myanmar Tewas, Inggris dan AS Jatuhkan Sanksi pada Bisnis Militer
Myanmar telah diguncang aksi protes hampir setiap hari sejak tentara menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Dewi Agustina
Kedua perusahaan itu adalah bagian dari jaringan yang dikendalikan militer dan mencakup berbagai sektor dari pertambangan ke pariwisata. Perusahaan-perusahaan ini telah memperkaya para jenderal.
Langkah Washington membekukan aset apa pun yang dipegang oleh mereka di Amerika Serikat.
Ini juga melarang perusahaan atau warga AS untuk berdagang atau melakukan transaksi keuangan dengan mereka yang masuk dalam daftar hitam tersebut.
"Tindakan-tindakan ini secara khusus akan menargetkan mereka yang memimpin kudeta, kepentingan ekonomi militer, dan aliran dana yang mendukung penindasan brutal militer Myanmar," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.
"Perusahaan-perusahaan itu tidak ditujukan untuk rakyat Burma."
Dalam sebuah langkah yang dikoordinasikan dengan Amerika Serikat, bekas kekuatan kolonial Inggris mengatakan akan membidik Myanma Economic Holdings Ltd, atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil dengan tokoh-tokoh militer senior di dalamnya.
Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengatakan sanksi-sanksi itu akan membantu menguras sumber keuangan mereka atas tindakan represi militer.
Langkah-langkah AS sebelumnya telah memukul individu yang terkait dengan kudeta, sementara pemimpin junta dan komandan tentara Jenderal Min Aung Hlaing sudah masuk daftar hitam karena masalah hak asasi manusia sebelumnya.
Uni Eropa mengumumkan sanksi terhadap 11 individu pada hari Senin dan diperkirakan akan segera menargetkan para konglomerat lainnya.
Baca juga: Jaringan Rahasia Bantu Ratusan Polisi Myanmar Melarikan Diri ke India
Baca juga: Sudah Lebih dari 300 Orang Tewas Akibat Aksi Brutal Militer Myanmar, Sebagian Besar Ditembak Mati
Tetapi meskipun banyak pemerintah asing telah mengutuk tindakan militer, Thomas Andrews, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan respons diplomatik itu lambat dan "keluar dari langkah dengan skala krisis".
"Kondisi di Myanmar memburuk dan kemungkinan akan jauh lebih buruk tanpa "respons internasional segera, kuat, untuk mendukung mereka yang dikepung," katanya, menyerukan pertemuan puncak darurat tentang krisis tersebut.(Reuters)