Pria asal China yang Bunuh Mantan Istrinya saat Sedang Live Streaming Dijatuhi Hukuman Mati
Seorang pria di China dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh mantan istrinya yang saat itu sedang melakukan live streaming.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Arif Fajar Nasucha
Keluarganya meminta donasi untuk membantu membayar perawatannya.
Saat itulah kasus rumah tangganya menjadi perhatian.
Namun pada akhir bulan, ia akhirnya meninggal.
UU KRDT yang Dirasa Lemah
Kematian Lhamo menyoroti kekerasan dalam rumah tangga di China dan kegagalan otoritas untuk melindungi para korban meskipun ada perubahan undang-undang dan janji pemerintah.
Kampanye atas kematian Lhamo semakin intensif ketika presiden China, Xi Jinping, memberikan pidato di konferensi PBB.
Ia mengatakan bahwa perlindungan hak dan kepentingan perempuan harus menjadi komitmen nasional.
Beberapa tagar termasuk #LhamoAct, menyerukan undang-undang mempermudah proses perceraian bagi korban KDRT.
Tagar itu sempat tersebar di internet tetapi dengan cepat disensor.

Ada seruan untuk ditegaskannya lagi undang-undang kekerasan dalam rumah tangga yang sebenarnya sudah berjalan empat tahun saat itu.
Laporan tahun 2020 oleh Beijing Equality, sebuah kelompok advokasi hak-hak perempuan, mengatakan bahwa sejak undang-undang itu diberlakukan tahun 2016 lalu, lebih dari 920 perempuan telah meninggal karena kekerasan dalam rumah tangga, atau rata-rata tiga kasus setiap lima hari.
Lu Xiaoquan, seorang pengacara bantuan hukum untuk hak-hak perempuan dan direktur eksekutif firma hukum Qianqian di Beijing, mengatakan kematian Lhamo telah menarik perhatian negara.
Bukan hanya karena statusnya sebagai influencer, tetapi karena undang-undang yang dirancang untuk melindungi wanita seperti dirinya sebenarnya sudah ada.
"Masyarakat China telah memahami kekerasan dalam rumah tangga dengan lebih baik," ujar Lu.
"Tetapi ada lebih sedikit orang yang berpikir kekerasan dalam rumah tangga hanyalah sekadar 'masalah keluarga'."