Konflik Rusia Vs Ukraina
Putin: Rusia Terbuka untuk Diplomasi, Tapi Soal Keamanan Tak Ada Kompromi
Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan bahwa ia terbuka untuk diplomasi namun tetap mengutamankan kepentingan keamanan nasionalnya, Rabu (23/2).
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan bahwa ia terbuka untuk diplomasi namun tetap mengutamankan kepentingan keamanan nasionalnya.
Pemimpin Rusia ini mengaku akan terus memperkuat militer dalam menghadapi situasi internasional yang sulit.
Putin, berbicara dalam sebuah pernyataan video yang dirilis bertepatan dengan Hari Pembela Tanah Air tahunan, tidak menyebutkan perselisihannya dengan Barat atas Ukraina.
Diketahui sejumlah negara Barat menjatuhkan sanksi kepada Rusia, setelah Putin mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis Ukraina.
Meski tak menyebut krisis Ukraina secara langsung, Putin mengirim pesan ke Barat dalam penampilannya itu.

Baca juga: Beda dengan Biden, Donald Trump Justru Puji Langkah Putin Akui Kemerdekaan Donetsk dan Luhansk
Baca juga: Jerman Perlu Orientasi Politik Baru Terhadap Rusia Setelah Putin Picu Eskalasi.
"Negara kami selalu terbuka untuk dialog langsung dan jujur dan siap mencari solusi diplomatik untuk masalah yang paling rumit," kata Putin, Rabu (23/2/2022), dikutip dari Reuters.
"Tetapi saya ingin mengulangi bahwa kepentingan Rusia dan keamanan rakyat kami tidak bersyarat."
"Jadi, kami akan terus memperkuat dan memodernisasi tentara dan angkatan laut kami," tambahnya.
Amerika Serikat menuduh Rusia mengumpulkan lebih dari 15.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina diduga untuk melakukan invasi.
Moskow berulang kali membantah punya rencana penyerangan, namun menyatakan pihaknya punya kewajiban melindungi orang-orang yang tinggal di dua wilayah separatis.
"Kita bisa melihat situasi internasional yang sulit dan ancaman yang ditimbulkan oleh tantangan saat ini, seperti erosi sistem kontrol senjata dan aktivitas militer NATO," kata Putin.
"Namun, seruan Rusia untuk membangun sistem berdasarkan keamanan yang setara dan tak terpisahkan yang dapat diandalkan untuk membela semua negara, tetap tidak terjawab."
Ukraina Jatuhkan Sanksi

Di hari yang sama, Rabu (23/2/2022), Parlemen Ukraina menyetujui sanksi terhadap 351 warga Rusia, termasuk anggota parlemen yang mendukung pengakuan perdamaian dua wilayah separatis di Ukraina timur dan pengerahan pasukan Rusia di sana.
Saksi itu berupa pelarangan memasuki Ukraina, membatasi akses terhadap aset, modal, properti, serta izin usaha.
Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina akan menjatuhkan sanksi setelah pemungutan suara.
"Kita harus berbicara kepada dewan keamanan nasional untuk segera menjatuhkan sanksi terhadap penjahat, terhadap setiap wakil Duma Negara Rusia, yang memilih untuk memecah Ukraina," Iryna Herashchenko, anggota faksi Solidaritas Eropa, mengatakan sebelum pemungutan suara.
Pekan lalu, 351 anggota Parlemen Rusia meminta Presiden Vladimir Putin mengakui kemerdekaan dua republik yang memproklamirkan diri di Ukraina timur yang dikendalikan oleh separatis pro-Rusia.
Sanksi juga dijatuhkan sejumlah negara Barat dan Jepang.
Dilaporkan Reuters, AS, Uni Eropa, Inggris, Australia, Kanada, dan Jepang menargetkan bank dan tokoh elit.
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan Inggris akan menghentikan Rusia menjual utang negara di London.
"Kami akan menghentikan pemerintah Rusia dengan menaikkan utang negara di Inggris," ujar Truss.
Sanksi AS menargetkan elit Rusia dan dua bank milik negara, mengeluarkan mereka dari sistem perbankan AS, melarang mereka berdagang dengan orang Amerika, dan membekukan aset yang ada di sana.

Baca juga: Ukraina Siap Perang, Tentara Cadangan Disiapkan, Warganya Diimbau Tinggalkan Rusia
Baca juga: Dapat Sanksi Ekonomi dari AS, Rusia Bisa Alihkan Perdagangan ke China
Sementara itu, Jerman membekukan proyek pipa gas Nord Stream 2.
Nord Stream adalah sistem pipa gas alam lepas pantai di Eropa, yang mengalir di bawah Laut Baltik dari Rusia ke Jerman.
Konstruksi proyek pipa ini telah selesai, tetapi masih membutuhkan sertifikasi peraturan dari otoritas Jerman sebelum gas dapat dikirimkan.
Pipa gas Nord Stream menjadi sumber perselisihan dengan AS.
Washington prihatin dengan proyek ini karena dapat meningkatkan ketergantungan Eropa kepada Rusia terkait kebutuhan energi.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)