Praktik sogokan di kepolisian disebut 'hampir semua sektor dengan pola berbeda' - Kasus penjual bubur ayam 'setor' uang ratusan juta dan 'ditipu' oknum polisi
Sejumlah kasus suap, setoran, dan pungli yang mengemuka di tubuh kepolisian beberapa waktu belakangan ini dinilai hanya menggambarkan…
Terkait kasus ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan bahwa “siapapun yang menjadi calo dalam rekrutmen penerimaan anggota Polri akan mendapatkan sanksi yang tegas”.
“Laporan-laporan terkait dengan penyimpangan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri kami pastikan akan direspons ya,” kata Ramadhan dalam konferensi pers di Mabes Polri pada Senin.
Dia juga menegaskan bahwa proses rekrutmen Polri “tidak dipungut biaya”.
Kasus itu bukan satu-satunya praktik suap yang terungkap terkait rekrutmen Polri. Pada Maret lalu, Polda Jawa Tengah mengungkap lima anggotanya terjaring operasi tangkap tangan karena menjadi calo penerimaan bintara.
Kelima tersangka merupakan panitia penerimaan anggota Polri periode 2022. Mereka menerima uang suap mulai dari Rp350 juta hingga Rp2,5 miliar.
Terjadi di ‘hampir semua sektor kepolisian’
Bambang Rukminto dari ISSES mengatakan praktik suap, setoran, maupun pungli terjadi di “hampir semua sektor di kepolisian”.
“Suap ini hanya hilirnya, hulunya adalah setoran kepada atasan-atasan. Ini terjadi di hampir semua satuan, tentunya dengan pola berbeda,” kata Bambang.
“Di reserse misalnya, terkait penegakan hukum dengan memainkan pasal, menakut-nakuti masyarakat dengan pasal. Di Satlantas [Satuan Lalu Lintas] melakukan pungutan di jalanan dan penerbitan SIM. Bahkan di internal juga, terkait promosi jabatan misalnya, itu berbiaya mahal. Kalau ingin penempatan di tempat yang lebih ‘basah’ atau jabatan penting ya setor lagi ke SDM. Sudah mengakar ya,” sambungnya.
Pada awal Juni lalu, media sosial digegerkan oleh pengakuan seorang anggota Brimob Polda Riau, Bripka Andry bahwa dia telah menyetorkan uang Rp650 juta kepada Komandan Batalyon B Pelopor Manggala Rokan Hilir, Kompol Petrus Hottiner. Kekecewaan itu dilontarkan Andry yang mengaku kecewa dimutasi meski telah menyetor uang kepada komandannya.
Sejauh ini, Petrus telah dicopot dari jabatannya dan Andry telah melaporkan kasus ini kepada Divisi Propam Mabes Polri. Andry bahkan datang ke Mabes Polri, Jakarta pada Senin (19/6) demi menanyakan perkembangan kasusnya.
Kasus lainnya di Riau, anggota Polres Bengkalis, Bripka MK ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima suap dari terdakwa kasus narkoba. BA diduga meminta uang hingga Rp2,6 miliar kepada terdakwa. Dia juga bekerja sama dengan istrinya yang merupakan jaksa di Kejaksaan Negeri Bengkalis.
Dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, seorang pejabat Polri, AKBP Bambang Kayun didakwa telah menerima suap sebesar Rp57,1 miliar dalam kurun 2016-2021 karena mempermainkan penyidikan dan pengurusan surat perlindungan hukum tersangka dari perkara pemalsuan surat ahli waris PT Aria Citra Mulia. Bambang Kayun bahkan disebut membagikan uang suap yang dia terima kepada beberapa penyidik di Bareskrim Polri.
Pengawasan ‘longgar’, penyelesaian kasus ‘tak jelas’
Menurut Bambang Rukminto, maraknya praktik suap di Polri terjadi karena kontrol dan pengawasan yang “sangat longgar”.
“Di polisi itu sudah banyak peraturan yang mencegah terjadinya suap, tapi aturan itu nyaris tidak berjalan karena minim pengawasan dan kontrol, tidak ada sistem yang menjamin peraturannya dijalankan dengan benar, sehingga mereka bisa bermain-main melakukan pelenggaran seperti itu,” kata Bambang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.