Praktik sogokan di kepolisian disebut 'hampir semua sektor dengan pola berbeda' - Kasus penjual bubur ayam 'setor' uang ratusan juta dan 'ditipu' oknum polisi
Sejumlah kasus suap, setoran, dan pungli yang mengemuka di tubuh kepolisian beberapa waktu belakangan ini dinilai hanya menggambarkan…
Dia mencontohkan kasus dugaan setoran dari tambang ilegal untuk petinggi Bareskrim Polri yang dihembuskan oleh mantan anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong.
Ismail sempat mengklaim pernah menyetor Rp6 miliar kepada Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto. Ismail kemudian mencabut pernyataan itu. Pada akhirnya, Ismail Bolong ditetapkan sebagai tersangka.
Tetapi isu soal setoran yang mulanya disampaikan oleh Ismail Bolong itu, kata Bambang, menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas.
“Bahkan yang terkait tidak diapa-apakan dan tidak mendapatkan sanksi. Jadi sistem di dalam Polri itu longgar sekali sehingga pelanggaran seperti itu terus terulang,” paparnya.
Butuh pengawasan eksternal
Komisioner Kompolnas Poengki Indarti mengatakan bahwa Polri perlu memperkuat pengawasan internal untuk merespons temuan kasus-kasus ini.
“Kapolri tegas memerintahkan proses hukum bagi anggota yang menerima suap, sehingga hal ini harus menjadi pedoman bagi seluruh Kasatwil dan Kasatker, dan melaksanakan perintah Kapolri dengan sebaik-baiknya. Kami juga berharap ke depannya agar para Kasatwil dan Kasatker melaksanakan Reformasi Kultural Polri secara konsisten. Jangan sampai membebani Kapolri dan menunggu perintah beliau,” kata Poengki ketika dihubungi.
Sebaliknya, Bambang menilai pengawasan internal tidak lagi cukup untuk mereformasi Polri.
“Pengawasan internal Polri adalah bagian dari sistem yang sudah rusak itu. Kalau mau membenahi Polri, harus ada pengawasan yang kuat dari eksternal,” tutur Bambang.
Sejauh ini, tumpuan utama ada pada pengawasan dari masyarakat. Namun pada sejumlah kasus, Bambang pun menilai respons Polri untuk menindak laporan-laporan dari masyarakat terkait suap, pungli, dan sejenisnya terjadi karena ada desakan masyarakat setelah kasus-kasus tersebut viral atau mengemuka ke publik.
“Sekarang itu tampak masif hanya karena ada perubahan sosial, ada media sosial yang menjadi saluran keluhan masyarakat. Jadi transparansi berkeadilan seperti yang digaungkan Kapolri itu karena ada desakan masyarakat saja. Begitu situasinya reda, tidak ada kejelasan soal kelanjutan penanganannya,” ujar dia.
Itu pula yang terjadi pada penanganan kasus penipuan yang menimpa W di Cirebon.
Sementara itu, peran pengawasan dari pemerintah dan lembaga eksternal dinilai juga lemah. Kompolnas, sebagai lembaga yang bertugas mengawasi kinerja Polri secara fungsional, dinilai belum cukup bergigi.
“Dengan struktur Kompolnas yang sekarang, mereka tidak akan mampu mengawasi keseluruhan kepolisian. Ada lebih dari 400.000 anggota Polri di Indonesia, diawasi oleh enam orang komisioner, sementara tiga di antaranya mantan polisi. Tidak akan efektif,” tutur Bambang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.