Sabtu, 20 September 2025

Kisah suster Katolik yang menolak tinggalkan Gaza demi merawat korban serangan Israel

Para biarawati di Gaza menampung dan merawat lebih dari 600 warga sipil yang terdampak serangan udara Israel. "Mereka adalah orang-orang…

BBC Indonesia
Kisah suster Katolik yang menolak tinggalkan Gaza demi merawat korban serangan Israel 

Tidak. Mereka menelepon kami dari Kedutaan Peru di Israel. Dan setelah itu giliran kedutaan dan konsulat Peru di Mesir yang mengontak kami. Mereka memberi tahu kami bahwa mereka memiliki semua informasi kami, bahwa segala sesuatunya sudah siap di perbatasan saat kami ingin berangkat.

Namun mereka tidak pernah menanyakan niat kami.

Kami tidak akan meninggalkan umat kami. Saya telah tinggal di sini selama empat tahun dan inilah hidup saya. Ini adalah paroki saya. Mereka adalah orang-orang penting dalam kehidupan saya dan saya tidak akan pergi dari sini. Mereka membutuhkan bantuan kami.

Apakah Anda mengambil keputusan itu meskipun Anda tahu bahwa dengan adanya serangan udara, risiko kematian Anda meningkat setiap hari?

Ya, saya sangat sadar akan hal itu karena saya mendengar suara ledakan. Saya yakin semua orang di paroki ini mengetahui hal itu.

Semua umat Kristiani sebenarnya bisa pergi ke selatan Gaza untuk menyelamatkan diri, tapi tidak satu pun dari mereka yang mau pergi. Setiap orang ingin tinggal di parokinya. Dengan kata lain, mereka ingin berada dekat dengan Sakramen Kudus, dekat dengan Tuhan. Mereka merasa aman berada di sini.

Israel menyebarkan selebaran kepada orang-orang di Gaza utara untuk memperingatkan bahwa mereka yang tidak pergi ke selatan Sungai Wadi Gaza berisiko dianggap sebagai “kaki tangan organisasi teroris.” Seperti apa kenyataannya di lapangan?

Di paroki ada anak-anak, ada orang difabel.

Banyak orang yang datang menggunakan kursi roda, ada pula orang lanjut usia dan banyak di antara mereka yang tidak bisa berjalan. Ada juga seseorang yang menderita kanker yang menjalani operasi otak. Kami menampung beberapa orang yang terluka dari paroki Ortodoks yang dirawat di sini karena di antara para pengungsi kami ada pula dokter.

Bagaimana cara mengangkut 600 orang, termasuk anak-anak, orang sakit, orang tua? Kami tidak bisa. Kami benar-benar tidak bisa melakukannya.

Saya percaya ini adalah alasan kemanusiaan dan semestinya Israel dapat memahami kami, semestinya mereka dapat memahami bahwa kami tidak dapat bergerak.

Kami menginginkan perdamaian, kami hanya menginginkan perdamaian.

Untuk itu kami harus banyak berdoa. Paus Fransiskus menyebut tanggal 27 Oktober ini sebagai Hari Doa. Saya percaya inilah saatnya bagi kita semua untuk bersatu dalam permohonan besar ini untuk mendoakan perdamaian.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan