'Bara' di balik penolakan pengungsi Rohingya di Aceh, 'saya sebelas hari di laut, makan sehari sekali'
Pengusiran sebagian warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya dinilai berpotensi menciptakan konflik dan gesekan antara warga.
“Apalagi, ketika pengelolaan pengungsi ini memakan waktu yang cukup lama, gesekan-gesekan dalam interaksi antar warga dan pengungsi tidak mungkin dihindari,” katanya.
Lebih jauh, Siti mengatakan penolakan pengungsi ini kemungkinan akan terus berlangsung, sehingga dapat menimbulkan potensi “kaos (kekacauan) dan menguatnya gesekan antara warga dengan pengungsi Rohingya yang masih di daratan.”
Kekhawatiran ini memicu desakan agar pemerintah mengurus pengungsi bukan sekadar "memberikan kebutuhan sandang, papan, pangan".
“Namun interaksi sosial mereka, adaptasi sosial mereka dengan pola kehidupan warga setempat juga perlu diperhatikan dengan serius. Potensi-potensi konflik perlu dipetakan,” kata Siti.
Gelombang yang lebih besar
Chris Lewa, direktur Arakan Project, lembaga advokasi HAM untuk minoritas Rohingya mempertanyakan implementasi Peraturan Presiden No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Dalam regulasi ini disebutkan pemerintah dapat melakukan tindakan penyelamatan terhadap pengungsi di perairan Indonesia.
“Ada orang-orang, anak-anak di atas kapal. Tentu saja, orang-orang itu, menurut saya, berada dalam kesusahan. Kesusahan bukan hanya fisik kapal, tetapi juga orang-orang di dalamnya. Jadi, ya, saya pikir di tingkat nasional, harus ada transparansi dan penerapan hukum seperti Peraturan Presiden,” kata Chris Lewa.
Kalau pun terdapat penolakan, pemerintah Indonesia semestinya dapat memberikan alternatif daerah lain sebagai tempat penampungan pengungsi, tambah Chris.
“Saya rasa Indonesia juga sangat sensitif dengan citra internasional. Jadi jelas, maksud saya, jika tidak ada yang dilakukan, maka akan ada kritik internasional terhadap Indonesia untuk hal itu. Dan saya rasa Indonesia tidak menginginkan hal itu,” katanya.
Ia juga memperkirakan gelombang pengungsi Rohingya ke Indonesia akan semakin besar ke depannya, lantaran situasi politik, ekonomi dan sosial di negara asal etnis ini – Bangladesh dan Myanmar – semakin buruk.
Selain itu, bantuan kemanusiaan internasional untuk pengungsi Rohingya juga sudah dipangkas, kemungkinan dialihkan ke Ukraina dan Gaza – yang saat ini dilanda konflik.
“Menurut saya, jika pengungsi dapat hidup lebih baik, mereka tidak perlu pergi ke Indonesia dan hal-hal seperti ini. Jadi saya juga menuduh komunitas internasional kurang berbagi tanggung jawab untuk membantu para pengungsi dengan lebih baik,” kata Chris Lewa.
Apa respons pemerintah?
Plt. Kepala Dinas Sosial Aceh, Devi Riansyah mengatakan pihaknya tidak berwenang terhadap persoalan ini, dan menyerahkan hal ini kepada Badan PBB untuk urusan Pengungsi, UNHCR.
“Sesuai dengan Perpres 125 terkait PPLN Dinsos Provinsi tidak memiliki kewenangan dan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) terkait hal tersebut,” kata Devi melalui pesan tertulis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.