Wawancara 'Komandan Nyamuk' tentang Wolbachia guna Lawan DBD
Nyamuk wolbachia bisa tekan biaya pemberantasan DBD jika diterapkan di area padat penduduk dengan tingkat dengue tinggi, ujar Profesor…
"Itu cara pelepasan nyamuknya. Jadi jangan dibayangkan bakal melepas bareng 1-2 juta nyamuk sekaligus. Tidak begitu teknisnya."
"Pelepasan itu selama 6-7 bulan dengan skala wilayah tertentu, itu wolbachia sudah 60% itu sudah bisa berkembang biak alami. Kalau sudah 80% lebih, nyamuk di area itu sudah wol, maka dia sudah boleh bekerja menekan dengue."
"Nyamuk wolbachia ini bisa cost effective jika diterapkan di area dengan tingkat dengue tinggi dan populasi padat penduduk," Ujar Uut yang dijuluki 'Komandan Nyamuk' karena penelitiannya ini.
Setelah implementasi selesai, hasil menyebutkan bahwa nyamuk wolbachia ini bisa menurunkan 77% kasus dengue dan 86% penurunan angka rawat inap.
Berkat penelitian dan implementasinya Uut pun diganjar beberapa penghargaan. Penghargaan pertamanya adalah Habibie Awards di 2019. Di 2020 dia juga mendapatkan penghargaan dalam 10 People Who Help Science dari Nature Journal, dan di 2021 dia terpilih menjadi 100 Most Influential People of 2021 dari Majalah Time.
"Dampaknya ya orang-orang jadi lebih appreciate penelitian ini sih," katanya diiringi tawa.
Wolbachia rekayasa genetika?
Uut menyadari bahwa hadirnya teknologi baru berpotensi mengundang kesalahpahaman dan kontroversi. Salah satunya anggapan bahwa nyamuk wolbachia adalah bagian dari rekayasa genetika untuk mencegah demam berdarah.
"Tidak ada proses rekayasa genetika dalam penelitian ini karena wolnya sama persis dengan wolbachia yang ada di inangnya. Bakterinya dari lalat buah juga punya karakter yang sama persis, lalu nyamuk yang sudah ada wolbachia-nya juga sama persis dengan nyamuk yang tidak ada wolbachianya."
Terkait isu ini, Uut juga menambahkan bahwa pernyataan bakteri ini bukan bagian dari rekayasa genetic juga ditetapkan oleh Badan Regulasi Australia sampai CDC.
"Memang ada penyakit lain yang menggunakan rekayasa genetika, tapi itu pun bukan di Indonesia. Misalnya malaria, saat ini sedang dikembangkan untuk masalah di Afrika. Ini mungkin yang sering tertukar."
"Wolbachia itu tidak mengubah perilaku manusia. Wolbachia ini menekan virus demam berdarah. Tidak mengubah ekosistem, tetap ada di alam, cuma di tubuhnya ada wolbachia. ... Kalau tergigit bagaimana? Ya tergantung reaksi masing-masing orang, tapi yang pasti bukan dengue."
Kontroversi lain seputar wolbachia
Salah kaprah lainnya yang sering terdengar olehnya adalah perkara 'nyamuk impor' yang dibawa masuk dan dilepaskan di Indonesia.
"Jadi begini, di 2011 memang peneliti Australia yang berhasil yang berhasil menginjeksikan wolbachia ke nyamuk. Kami bawa telur nyamuk berwolbachia, itu sesuai regulasi dan aturan Indonesia. Nyamuk ini kemudian dikawinsilangkan dengan nyamuk di Jogja, sampai sekian generasi. Kawin silang ini dilakukan sampai nyamuk berwolbachia ini sama persis karakternya dengan nyamuk aedes lokal.
"Lalu kalau dibilang tambah jumlah nyamuk, ya emang nambah jumah nyamuk tapi nambahnya enggak sampai 10% yang ada di alam. Selama tes ini juga tidak ada banyak orang yang protes karena tidak nyaman jadi banyak nyamuk. Tapi itu bukan jadi keluhan utama."
Tak cuma itu, baru-baru ini muncul kontroversi akibat video dari mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari terkait wolbachia. Melihat hal ini, Uut juga hanya mengungkapkan keprihatinannya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.