Tiga kunci memahami likuidasi Evergrande, raksasa properti China dengan utang Rp5.202 triliun
Evergrande disebut sebagai "perusahaan properti paling berutang di dunia," dan memang betul. Utangnya berjumlah hampir US$330 miliar…
CEO Evergrande Shawn Siu mengatakan keputusan itu "disesalkan," tetapi meyakinkan bahwa perusahaan akan terus beroperasi di China, karena anak perusahaan Hong Kong independen dari perusahaan induk, ungkapnya dalam sebuah pernyataan.
Setelah dikeluarkan perintah likuidasi, manajemen perusahaan tidak lagi memiliki kendali atasnya.
Sekarang nasib perusahaan berada di tangan likuidator profesional, yang mungkin merupakan pejabat atau mitra dari perusahaan profesional, seperti yang dijelaskan Derek Lai, seorang ahli kepalilitan di Deloitte.
Pengadilan Hong Kong telah menunjuk Edward Simon Middleton dan Tiffany Wong Wing Sze, dari perusahaan konsultan Alvarez & Marsal Asia Limited, sebagai administrator yudisial Evergrande.
Semua ini menunjukkan bahwa bagaimana pun, proses likuidasi Evergrande akan rumit.
Sebagian besar aset Evergrande letaknya di daratan China dan terlepas dari slogan "satu negara, dua sistem", ada masalah yurisdiksi yang pelik dan tidak jelas terkait apakah kreditor memiliki akses ke aset perusahaan di bagian wilayah tersebut.
Menurut Alicia García Herrero, kepala ekonom Asia-Pasifik di bank investasi Natixis, untuk saat ini aset-aset di daratan Cina tidak mungkin dapat dilikuidasi.
Sebab, masih banyak perusahaan publik, perusahaan konstruksi atau pengembangan, yang belum memiliki kendali atas semua aset dan apartemen yang belum selesai.
Hal tersebut dapat menyebabkan kebangkrutan, jelas García Herrero kepada BBC Mundo.
Apa dampak krisis Evergrande terhadap sektor real estat dan citra China?
Analis setuju bahwa perintah likuidasi akan memperdalam keraguan dan ketakutan yang melayang di atas pasar real estat China, dan dapat berdampak pada ekonomi China.
Keputusan pengadilan kemungkinan akan mempengaruhi pasar keuangan China, terutama ketika pihak otoritas sedang berusaha membatasi gelombang penjualan di pasar saham.
Sejak puncaknya tiga tahun lalu, sekitar US$6 miliar (Rp94,4) menguap dari pasar saham China dan Hong Kong. Sektor real estat Cina juga menyumbang hampir seperempat dari ekonomi terbesar kedua di dunia.
Namun, di luar pasar dan dampaknya terhadap sektor properti China, gelombang lanjutan dari krisis Evergrande dapat memperburuk citra China sebagai negara tujuan investasi dan peringkat perusahaannya.
Ada banyak perusahaan berbasis China yang meningkatkan modal di Hong Kong yang asetnya tidak berada di wilayah itu, tetapi di China daratan, dan yang sekarang akan lebih sulit mengakses modal dari Hong Kong, kata García Herrero.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.