Minggu, 28 September 2025
Deutsche Welle

Soeharto Lalu Prabowo: Komandan Pasukan Sebagai Pemimpin Bangsa

Seperempat abad lebih setelah Soeharto lengser, Prabowo Subianto justru terpilih sebagai presiden. Semua orang di negeri sudah paham,…

Deutsche Welle
Soeharto Lalu Prabowo: Komandan Pasukan Sebagai Pemimpin Bangsa 

Mengabaikan himbauan guru besar atau resi, dari segi peradaban berpikir, adalah kemunduran parah. Sejak dulu resi dipercaya sebagai benteng terakhir moralitas, seperti ketika Ronggowarsito menulis "Serat Kalatida” (syair masa kegelapan). Pujangga pamungkas itu menulisnya dengan rasa putus asa, ketika elite istana (Solo) sudah menghamba pada kesejahteraan dan hasrat duniawi lainnya.

Terkait KKN, semua yang terjadi sekadar tricky atau akal bulus penguasa. Sejatinya seluruh rezim pasca-reformasi melakukan KKN juga, hanya "nominalnya” tidak sebesar Orde Baru, setidaknya untuk sementara. Diksi "nominal” atau besaran itulah yang kemudian menjadi ruang manipulatif. Seluruh rezim dengan malu-malu sebenarnya mengakui telah melakukan KKN, asal tidak sebesar Orde Baru. Dalih ini yang kemudian menjadi olok-olok publik.

Persoalannya bukan hanya soal nominal, namun motivasi memperkaya diri sendiri dan kelompoknya sudah di luar akal sehat. Itu bisa terlihat ketika dana bansos (bantuan sosial) bagi rakyat, dimanfaatkan untuk pemenangan dalam Pilpres. Ketika rakyat bawah berjibaku bertahan hidup mengingat tingginya harga beras, elite justu mengambil kesempatan memperkaya diri lewat korupsi.

Rasanya tidak adil juga, bila selalu menyalahkan figur Soeharto. Saat berkuasa Soeharto memang identik dengan KKN. Soal nepotisme misalnya, tentu saja Soeharto akan selalu lebih besar, karena anaknya memang lebih banyak, mengingat saat Soeharto membangun mahligai rumah tangga pada dekade 1940-an, program KB (keluarga berencana) dan pembatasan kelahiran belum lagi dikenal.

Bandingkan dengan penguasa sekarang, jumlah anak mereka mungkin hanya dua atau tiga, namun semua diorbitkan. Sekali lagi ini soal motivasi, yang memang secara "senyap” terus melanggengkan KKN.

Namun ketika ada reaksi publik, jari penguasa langsung akan mengarah pada figur Soeharto.

Dalam hal KKN, Orde Baru ibarat sebuah buku terbuka. Sebuah buku terbuka yang bisa menjadi panduan bagi mereka yang berkuasa, sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Dalam fase ini, bagi mereka yang pernah melawan Orde Baru di masa lalu, setelah berkuasa tentu kerangka berpikirnya mengikuti Orde Baru, karena hanya buku panduan (Orde Baru) itulah yang mereka tahu.

Prabowo sebagai pembasuh luka?

Ada peristiwa yang membuat kita miris pada pertengahan dekade 1980-an, ketika Soeharto sedang berada di puncak kekuasaan. Guna memeriahkan pencanangan Hari Olahraga Nasional (9 September 1983), Stadion Sriwedari (Solo), dihias dengan begitu indahnya oleh panitia lokal, sebagai wujud penghormatan pada (Presiden) Soeharto.

Namun apa yang terjadi selanjutnya, sungguh di luar dugaan, alih-alih kegembiraan justru tangis pilu.

Sesaat sebelum Soeharto tiba, sebagai bagian dari prosedur pengamanan, Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) hadir ke stadion. Dengan alasan prosedur standar pengamanan pula, hiasan indah stadion diobrak-abrik oleh anggota Paspampres, termasuk karpet yang menutup rumput stadion.

Kontan saja tindakan Paspampres itu membuat ibu-ibu panitia yang ikut menghias stadion malam sebelumnya, sungguh terpukul, dan jerit tangis pilu tak terhindarkan lagi.

Kekuasaan memang kasat mata, dan cenderung angkuh, salah satunya adalah peristiwa di Stadion Sriwedari tersebut. Sungguh tak masuk akal, pada dekade 1980-an, Soeharto sedang di puncak kuasaan, dan Soeharto sedang kembali ke basis kulturalnya (Solo), ancaman macam apa yang dibayangkan Paspampres sehingga sampai tega merusak dekorasi stadion.

Arogansi kekuasaan kembali berulang hari ini, ketika anggota DPR RI sempat meminta nomor khusus pelat mobil dinasnya.

Sejarah seperti berulang, pameran kekuasaan di era Soeharto kemudian direplikasi secara masif, seperti yang ditunjukkan anggota DPR RI tersebut. Pamer kekuasaan juga menjalar sampai ke kota-kota kecil, ketika para bupati atau wali kota juga meminta pengawalan khusus (voorijder) saat melakukan dinas.

Sementara kota tempat dia berkuasa, suasana sangat sepi, jauh dari kata macet, sehingga delman pun masih bisa melintas.

Halaman
123
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan