Konflik Palestina Vs Israel
Bukan Rusia atau China, Rudal Houthi Nyaris Tembak Jatuh Jet Siluman Canggih F-35 Lightning II AS
Nyaris ditembaknya F-35 di Yaman menyembulkan fakta menarik kalau kelompok Houthi bisa mengancam jet tempur paling canggih di dunia milik AS.
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
"Namun, insiden Houthi menunjukkan kalau bahkan keunggulan ini dapat ditandingi oleh musuh yang berteknologi rendah namun penuh tekad perlawanan," sambung tulisan tersebut.
Jaringan pertahanan udara Houthi, meski efektif, beroperasi pada skala yang berbeda dari sistem canggih seperti S-400 milik Rusia atau HQ-9 milik China.
S-400, dengan jangkauan 400 kilometer dan kemampuan untuk menyerang beberapa target secara bersamaan, merupakan puncak pertahanan udara modern, yang mampu menantang bahkan jet tempur generasi kelima seperti F-35.
HQ-9, yang setara dengan China, menawarkan kemampuan serupa dengan teknologi radar dan rudal canggih.
Sebaliknya, sistem Houthi mengandalkan desain lama yang dimodifikasi dengan bantuan Iran untuk meningkatkan kinerjanya.
Keberhasilan mereka terhadap aset AS, khususnya MQ-9, berasal dari kombinasi kejutan, mobilitas, dan integrasi dengan pesawat nirawak dan rudal berbiaya rendah.
"Pendekatan asimetris ini (meski kalah superiror) memungkinkan Houthi untuk mengimbangi kelemahan teknologi AS, sehingga menciptakan ancaman terus-menerus terhadap operasi udara koalisi di wilayah tersebut," tulis BM.
Insiden ini memiliki implikasi yang lebih luas bagi strategi militer dan pengembangan teknologi AS.
Kerentanan MQ-9 menyoroti perlunya platform tak berawak yang lebih tangguh, yang berpotensi menggabungkan fitur siluman atau sistem peperangan elektronik canggih.
Baca juga: Bersandal Jepit, Ini Rahasia Milisi Houthi Bisa Panen Drone Canggih MQ-9 Reaper AS di Yaman

F-35, meskipun berhasil menghindari rudal, mungkin memerlukan pembaruan pada tindakan penanggulangannya untuk mengatasi ancaman yang terus berkembang seperti rudal Saqr.
Ketergantungan militer AS pada platform berbiaya tinggi, dengan program F-35 yang menelan biaya lebih dari $428 miliar hingga saat ini, menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas biaya dalam konflik melawan aktor non-negara.
Pentagon telah mulai menjajaki konsep dominasi udara generasi berikutnya, seperti program Next Generation Air Dominance [NGAD], yang bertujuan untuk memadukan sistem berawak dan tak berawak untuk melawan pertahanan udara canggih.
"Insiden Houthi dapat mempercepat upaya ini, yang mendorong penilaian ulang tentang bagaimana AS memproyeksikan kekuatan udara di lingkungan yang diperebutkan," kata laporan BM.

Houthi Berkembang Pesat
Analis pertahanan telah menyatakan kekhawatiran tentang implikasi dari nyaris ditembak jatuhnya F-35 AS ini oleh Houthi.
Joseph Trevithick, kontributor The War Zone, mencatat dalam sebuah artikel baru-baru ini bahwa kemampuan pertahanan udara Houthi telah "berkembang secara signifikan, memanfaatkan campuran sistem lama dan taktik inovatif untuk menantang superioritas udara AS."
Meskipun tidak ada pernyataan resmi dari Pentagon yang merinci insiden F-35, tantangan yang lebih luas dari Rough Rider telah menarik perhatian.
Biaya operasi yang tinggi, ditambah dengan hilangnya pesawat nirawak dan hampir mengenai sasaran pesawat berawak, telah memicu perdebatan tentang efektivitas operasi udara berkelanjutan terhadap musuh yang tangguh.
Gencatan senjata yang diumumkan oleh Presiden Trump pada tanggal 6 Mei 2025, yang dimediasi oleh Oman, telah menghentikan serangan AS, tetapi serangan berkelanjutan Houthi terhadap Israel menunjukkan kalau konflik tersebut masih belum terselesaikan.
Dari perspektif teknologi, pertemuan F-35 dengan rudal Houthi menggarisbawahi interaksi dinamis antara serangan dan pertahanan dalam peperangan modern.
Pertahanan diri yang dimiliki jet tersebut mencerminkan kekuatan desainnya, tetapi fakta kalau jet tersebut menjadi sasaran semua pihak menantang asumsi tentang kemampuan siluman dan superioritas udara.
Kelompok Houthi, dengan berbagai sistem yang dimodifikasi dan taktik gerilya, telah menunjukkan kalau aktor non-negara pun dapat mengganggu operasi negara adikuasa.
Insiden ini, meskipun merupakan satu titik data, memiliki bobot sebagai peringatan: penyebaran pertahanan udara canggih, bahkan di tangan pasukan yang tidak teratur, menuntut inovasi dan adaptasi yang konstan.
Saat militer AS menatap masa depan, pelajaran dari Yaman kemungkinan akan membentuk pendekatannya terhadap pertempuran udara, mulai dari pengembangan tindakan balasan baru hingga penyempurnaan taktik untuk menghadapi musuh yang berteknologi rendah tetapi licik.
Nyaris ditembaknya F-35 di Yaman menyisakan pertanyaan: jika kelompok seperti Houthi dapat mengancam salah satu jet tempur paling canggih di dunia, tantangan apa yang menanti dalam konflik dengan lawan yang lebih canggih?
Jawabannya mungkin terletak pada keseimbangan antara keunggulan teknologi dan kecerdikan mereka yang berusaha melawannya, sebuah dinamika yang akan menentukan masa depan peperangan udara.
Konflik Palestina Vs Israel
Kedubes Mesir di Menteng Jakarta Pusat Jadi Sasaran Demonstrasi Massa Pro Palestina |
---|
Prancis Kirim Bantuan ke Gaza via Udara, Macron Serukan Akses Penuh, Bantuan Airdrop Saja Tak Cukup |
---|
12 Ton Bantuan Pangan ke Gaza Diberikan Spanyol Lewat Jalur Udara |
---|
Keberanian Slovenia Mengembargo Senjata dengan Israel, Jadi Negara Pertama di Uni Eropa |
---|
Sandera Israel Kurus Kering, Ikut Kelaparan Akibat Blokade Israel di Gaza |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.