10 Negara dengan Utang Terbanyak di Dunia: Indonesia Masih Aman, Rasio Utang di Bawah 60 Persen
Inilah 10 negara dengan utang tertinggi di dunia, baik berdasarkan jumlah nominal dalam dolar dan rasio terhadap PDB.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Bobby Wiratama
Mengutip visualcapitalist.com, Sudan yang menempati peringkat teratas dengan rasio utang publik sebesar 252?ri PDB, disebabkan oleh konflik berkepanjangan dan tantangan ekonomi berat.
Negara Afrika ini menggeser Jepang dari posisi teratas sebagai negara dengan rasio utang tertinggi pada tahun 2023, tahun yang sama saat perang saudara pecah di Sudan.
Jepang memiliki beban utang tertinggi di antara negara maju, yakni sebesar 235?ri PDB.
Defisit fiskal yang berkelanjutan dan populasi yang menua menjadi faktor utama yang mendorong utangnya naik.
Selain Jepang, negara-negara seperti Singapura (175%), Bahrain (141%), dan Italia (137%) juga termasuk dalam jajaran negara maju dengan beban utang besar.
Amerika Serikat memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 123%, mencerminkan pengeluaran defisit selama bertahun-tahun serta kebijakan stimulus besar-besaran dalam merespons krisis ekonomi seperti pandemi.
Sementara itu, Jerman tercatat sebagai negara G7 dengan beban utang terendah, yaitu 65?ri PDB.
Bahkan, angka ini diproyeksikan turun menjadi 58% pada tahun 2029.
Baca juga: 10 Negara dengan Tingkat Kriminalitas Tertinggi di Dunia
Dampak Tingkat Utang yang Tinggi
Tingginya tingkat utang publik biasanya merupakan hasil dari berbagai faktor, seperti kebijakan moneter yang agresif, pelonggaran kuantitatif, pertumbuhan ekonomi yang lambat atau negatif, serta tingginya kebutuhan belanja publik.
Rasio utang terhadap PDB umumnya meningkat setelah periode resesi atau guncangan ekonomi, seperti Krisis Keuangan 2008 dan pandemi COVID-19, ketika pemerintah menerapkan stimulus fiskal untuk menyokong perekonomian.
Meskipun utang dapat menjadi alat penting dalam menghadapi perlambatan ekonomi, utang yang terus meningkat tanpa pengelolaan yang baik berisiko menimbulkan dampak jangka panjang, seperti pertumbuhan ekonomi yang melambat, depresiasi mata uang, bahkan gagal bayar yang memerlukan intervensi dari IMF.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.