Konflik Suriah
Prancis, Inggris, dan Jepang Sambut Baik Gencatan Senjata di Suwayda, Suriah
Gencatan senjata di Suwayda, Suriah, disambut positif oleh Prancis, Inggris, dan Jepang di tengah kekhawatiran eskalasi konflik dan intervensi asing.
Penulis:
Andari Wulan Nugrahani
Editor:
Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Gencatan senjata yang diumumkan Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa di provinsi Suwayda pada Sabtu (19/7/2025) disambut positif oleh sejumlah negara.
Dalam pidatonya di televisi, Presiden al-Sharaa menyerukan semua pihak untuk menghentikan permusuhan dan mendukung upaya pemerintah memulihkan stabilitas nasional.
Ia juga mengecam serangan Israel yang disebutnya mendorong Suriah ke dalam fase berbahaya yang mengancam kestabilan negara.
Faksi Badui pun menyatakan mundur dari Suwayda setelah berunding dengan klan mereka.
Sementara, pemimpin spiritual Druze, Hikmat Al Hajri, menyerukan pengawalan aman bagi para pejuang Badui keluar dari wilayah tersebut.
Beberapa laporan menyebut masih terjadi pertempuran lokal di kota itu.
Negara-negara di seluruh dunia menyuarakan dukungan terhadap gencatan senjata.
Prancis, Inggris, dan Jepang turut menanggapi positif gencantan senjata tersebut.
Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, mengatakan melalui X, ia merasa ngeri dengan kekerasan di Suriah selatan dan menegaskan pentingnya gencatan senjata yang berkelanjutan.
Baca juga: Arti Larangan Minum Kopi Bagi Suku-Suku Suriah, Genderang Perang Bagi Druze yang Dilindungi Israel
Kementerian Luar Negeri Prancis menyerukan perlindungan hak-hak seluruh warga Suriah dan mendesak investigasi atas pelanggaran terhadap warga sipil di Suwayda.
Jepang juga menyatakan keprihatinannya, termasuk atas serangan Israel, dan menyerukan semua pihak agar menahan diri.
"Kami sangat mendesak semua pihak terkait untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional Suriah," bunyi pernyataan pemerintah Jepang.
Sementara itu, Yordania menjadi tuan rumah pembicaraan tiga pihak antara Menteri Luar Negeri Ayman Safadi, mitranya dari Suriah, Asaad al-Shibani, dan utusan khusus AS, Thomas Barak.
Mereka membahas langkah-langkah konkret untuk mengonsolidasikan gencatan senjata, termasuk pembebasan tahanan dan rekonsiliasi masyarakat lokal.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menambahkan melalui X, pihak-pihak yang terlibat dalam kekejaman harus diadili, dan pertempuran antar kelompok suku harus segera dihentikan.
Gencatan Senjata
Gencatan senjata tercapai setelah bentrokan berdarah antara faksi Druze dan kelompok Badui berlangsung selama beberapa hari terakhir.
Konflik Druze dan Badui diperparah oleh intervensi militer Israel.
Kesepakatan ini merupakan bagian dari upaya diplomatik terpisah yang difasilitasi Amerika Serikat guna meredam eskalasi lebih lanjut, termasuk potensi serangan Israel ke wilayah Suriah.
Pemerintah Suriah juga telah mengerahkan pasukan ke Suwayda dan memerintahkan penarikan kelompok bersenjata dari wilayah kota.
Nour al-Din Baba, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Suriah, menyatakan pertempuran telah berakhir setelah upaya intensif dan pengerahan pasukan pemerintah.
Kota Suwayda kini disebut telah "dibersihkan dari semua pejuang suku."
Pemicu Bentrokan Druze dan Badui
Pertempuran dipicu oleh penculikan seorang sopir truk Druze yang kemudian memicu aksi balasan, memperluas konflik ke wilayah pedesaan.
Intervensi Israel dimulai pada Rabu, dengan dalih melindungi komunitas Druze, menyasar Suwayda dan Damaskus lewat serangan udara.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Suriah, sedikitnya 260 orang tewas dan lebih dari 1.700 terluka.
Baca juga: Siapa Druze? Komunitas Minoritas yang Dilindungi Israel hingga Membombardir Suwayda Suriah
Laporan dari kelompok pemantau independen menyebutkan korban jiwa mencapai lebih dari 900, dengan lebih dari 87.000 orang dilaporkan mengungsi akibat konflik.
Siapa Suku Druze?
Druze adalah komunitas minoritas bermazhab Islam yang lahir pada abad ke-11 di Mesir.
Jumlah mereka sekitar satu juta orang di Timur Tengah, terutama di Suriah, Lebanon, dan Israel.
Di Suriah, komunitas Druze terkonsentrasi di Provinsi Suwayda di selatan, dekat Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel sejak 1967.
Lebih dari 20.000 Druze tinggal di Golan bersama sekitar 25.000 pemukim Yahudi.
Sebagian besar Druze di Golan menolak kewarganegaraan Israel dan tetap memegang identitas Suriah.
Prinsip agama Druze menolak perpindahan masuk atau keluar agama.
Druze juga melarang pernikahan campuran.
Komunitas ini dikenal tertutup dan sangat menjaga solidaritas internal.
Sekitar 130.000 warga Druze Israel tinggal di Galilea dan Karmel.
Berbeda dengan minoritas lain, pria Druze di Israel wajib militer sejak 1957 dan sering menduduki posisi penting di militer dan kepolisian.
Menteri Urusan Diaspora Israel, Amichai Chikli, mengatakan Israel "tidak bisa berdiam diri" melihat "pembantaian dan penghinaan" terhadap kaum Druze di Suriah.
Baca juga: Al-Sharaa: Perlindungan Warga Druze Adalah Prioritas Pemerintah Suriah
Israel mengklaim serangannya menargetkan kendaraan militer Suriah yang bergerak ke Suwayda untuk mencegah serangan terhadap Druze.
Israel juga secara sepihak mendeklarasikan zona demiliterisasi di Suriah selatan untuk mencegah masuknya pasukan bersenjata.
Pemerintah Suriah menolak deklarasi tersebut dan menyebut serangan udara Israel sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara.
(Tribunnews.com/ Andari Wulan Nugrahani)
Sumber: TribunSolo.com
Konflik Suriah
Israel Meriang, Turki akan Beli 40 Jet Tempur Eurofighter Typhoon dari Jerman |
---|
Tiga Percobaan Pembunuhan Presiden Suriah Ahmed Al-Sharaa dalam 7 Bulan, Upaya Terakhir Paling Nekat |
---|
Arti Larangan Minum Kopi Bagi Suku-Suku Suriah, Genderang Perang Bagi Druze yang Dilindungi Israel |
---|
Israel Izinkan Akses Terbatas Pasukan Suriah ke Wilayah Sweida Selama 48 Jam |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.