Konflik Thailand Vs Kamboja
Konflik Thailand Vs Kamboja Punya Dampak Berlapis, Pengamat Lihat Indonesia Punya Modal Mendamaikan
Pertempuran antara militer Thailand dan militer Kamboja punya dampak multi-level, Indonesia punya modal mendamaikan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memandang pertempuran antara militer Thailand dan militer Kamboja yang meletus di perbatasan kedua negara pada Kamis (24/7/2025) kemarin memiliki dampak multi-level atau berlapis.
Khairul Fahmi merupakan seorang analis militer dan pertahanan yang juga merupakan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) — sebuah lembaga kajian independen di Indonesia yang fokus pada isu-isu keamanan dan strategi nasional.
Pertama, kata dia, secara langsung konflik ini berdampak pada keamanan perbatasan dan keselamatan warga sipil.
Hal tersebut, lanjutnya, terlihat dari adanya korban sipil dan pengungsian massal.
Menurut dia hal itu mengindikasikan eskalasi yang serius dalam konflik tersebut.
Baca juga: Profil Jenderal Phana Khlaeoplotthuk, Pimpinan Tertinggi Militer Thailand di Perang Lawan Kamboja
Kedua, menurutnya secara politik konflik itu memperlihatkan kegagapan ASEAN dalam merespons krisis internal.
Hal itu, lanjutnya ditunjukkan dengan tidak ada pernyataan bersama dan tak ada langkah cepat untuk deeskalasi.
"Ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ASEAN seperti non-intervensi dan konsensus justru menjadi hambatan dalam menghadapi konflik sesama anggota," ungkap dia saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (25/7/2025).
Ketiga, kata dia, konflik itu juga bisa mengganggu integrasi regional.
Ia mencatat jalur darat utama yang menghubungkan Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam adalah bagian dari proyek konektivitas ASEAN yang lebih besar.
Jika stabilitas terganggu, menurut dia, maka logistik, perdagangan lintas batas, hingga proyek infrastruktur bersama bisa terhambat.
Baca juga: Bentrok Bersenjata Memanas, Kedutaan Thailand Minta Warganya Segera Angkat Kaki dari Kamboja
"Ini tentu akan berdampak pada kepercayaan investor dan mitra luar kawasan terhadap ketahanan ASEAN sebagai entitas ekonomi dan politik," kata dia.
"Di tengah situasi ini, Indonesia perlu mempertimbangkan inisiatif," ungkapnya.
Ia mencatat Indonesia punya sejarah panjang sebagai penengah, baik saat memediasi konflik internal Kamboja melalui Jakarta Informal Meeting (JIM) di akhir 1980-an yang membuka jalan menuju Paris Peace Agreements 1991, maupun saat menjadi Ketua ASEAN pada 2011 ketika konflik perbatasan Thailand–Kamboja kembali memanas.
Pada 2011, kata dia, Indonesia tidak hanya mengeluarkan seruan damai, tetapi juga mengambil langkah konkret, melakukan shuttle diplomacy antara Bangkok dan Phnom Penh, memfasilitasi pertemuan Joint Border Committee, serta menginisiasi pembentukan Indonesian Observer Team (IOT) yang dikirim langsung ke area sengketa sebagai pemantau independen.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.