Minggu, 21 September 2025

Iran Gelar Perundingan Nuklir dengan Prancis, Jerman, Inggris di Istanbul

Teheran dan tiga negara Eropa bertemu di Istanbul untuk membahas nuklir Iran di tengah ancaman sanksi PBB dan desakan transparansi dari IAEA.

Atta Kenare/AFP
NUKLIR IRAN - Gambar yang diambil pada 10 November 2019 menunjukkan bendera Iran di PLTN Bushehr Iran, selama upacara resmi untuk memulai pekerjaan pada reaktor kedua di fasilitas tersebut. Iran menggelar perundingan nuklir terbuka dengan tiga negara Eropa, Prancis, Jerman, dan Inggris (E3) di Istanbul Turki, pada Jumat (25/7/2025). (Foto Arsip November 2019) 

TRIBUNNEWS.COM - Iran menggelar perundingan nuklir terbuka dengan tiga negara Eropa—Prancis, Jerman, dan Inggris (E3)—di Istanbul, Turki, pada Jumat (25/7/2025).

E3 adalah singkatan dari tiga negara Eropa utama yang terlibat dalam perundingan nuklir dengan Iran, yaitu: Prancis,Jerman, Britania Raya (Inggris).

Mereka sering disebut "E3" dalam konteks diplomasi internasional, terutama terkait perjanjian nuklir Iran (JCPOA – Joint Comprehensive Plan of Action).

Dalam beberapa perundingan, E3 ini kadang bergabung dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, sehingga disebut sebagai E3+EU atau P5+1 (jika ditambah Rusia dan Tiongkok).

Jika disebut hanya E3, berarti hanya tiga negara Eropa tersebut.

Pertemuan Iran dengan tiga negara Eropa berlangsung di tengah tekanan internasional dan ancaman diberlakukannya kembali sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pertemuan ini merupakan yang pertama sejak serangan Israel terhadap fasilitas militer Iran pada pertengahan Juni, yang memicu konflik selama 12 hari dan mendorong Amerika Serikat melancarkan serangan ke situs nuklir utama Iran.

Perang 12 Hari Israel–Iran (13–24 Juni 2025) adalah konflik militer intens yang melibatkan serangan udara, rudal, dan drone antara dua musuh lama di Timur Tengah.

Konflik ini disebut "Operasi Rising Lion" oleh Israel dan "True Promise III" oleh Iran.

Konflik tersebut, turut menggagalkan pembicaraan antara Teheran dan Washington terkait nuklir yang dimulai pada April lalu.

Baca juga: Tanda-Tanda Israel Sedang Siapkan Serangan Baru ke Iran, Ancaman Nuklir Cuma Kedok

Negara-negara Eropa kini mempertimbangkan untuk memicu “mekanisme snapback” berdasarkan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), yang memungkinkan sanksi PBB diberlakukan kembali jika Iran melanggar ketentuan perjanjian.

Mekanisme tersebut akan berakhir pada Oktober 2025.

JCPOA adalah perjanjian tahun 2015 antara Iran dan enam negara besar (AS, Inggris, Prancis, Rusia, Tiongkok, Jerman) untuk membatasi program nuklir Iran agar tidak berkembang menjadi senjata.

Sebagai imbalan, Iran mendapat pelonggaran sanksi ekonomi dan akses ke pasar internasional.

Namun, setelah AS keluar dari kesepakatan pada 2018, Iran mulai melanggar aturan, dan masa depan perjanjian ini pun menjadi tidak pasti.

Diskusi Serius

Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Kazem Gharibabadi mengatakan, diskusi dengan E3 berlangsung secara “serius, jujur, dan terperinci”.

Ia menegaskan bahwa Iran mengkritik sikap negara-negara Eropa terhadap konflik baru-baru ini dan menyampaikan posisi prinsipil Iran, termasuk penolakan terhadap mekanisme snapback.

“Disepakati bahwa konsultasi akan terus berlanjut,” ujar Gharibabadi usai pertemuan, seperti dikutip Al Jazeera.

Iran, bersama China dan Rusia, merupakan pihak yang masih berada dalam kesepakatan JCPOA, setelah Amerika Serikat secara sepihak menarik diri pada 2018.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Iran berkomitmen membatasi program nuklirnya sebagai imbalan pencabutan sanksi internasional.

Sementara itu, Eropa menuntut Iran membuat komitmen konkret, termasuk kerja sama penuh dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan pertanggungjawaban atas 400 kilogram uranium yang telah diperkaya mendekati tingkat senjata, yang keberadaannya belum diketahui sejak serangan Israel bulan lalu.

Desakan Hentikan Pengayaan Uranium Tak Wajar

Reuters melaporkan, G7 mendesak Iran menghentikan pengayaan uranium yang dianggap tidak dapat dibenarkan.

G7 adalah forum internasional yang terdiri dari tujuh negara dengan ekonomi paling maju di dunia: Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Kanada.

Dibentuk pada tahun 1975 sebagai respons terhadap krisis ekonomi global, G7 bertujuan untuk memperkuat kerja sama dalam isu-isu ekonomi, politik, dan keamanan internasional.

Uni Eropa juga turut hadir sebagai peserta tetap meski bukan anggota resmi.

Menurut IAEA, Iran saat ini memperkaya uranium hingga kemurnian 60 persen, jauh melampaui batas 3,67 persen yang disepakati dalam JCPOA, meski masih di bawah ambang 90 persen untuk pembuatan senjata.

Baca juga: Iran Siap Berperang dengan Israel, Tidak akan Menghentikan Program Nuklir, Kata Presiden Pezeshkian

Uranium adalah unsur radioaktif dengan simbol U dan nomor atom 92, ditemukan tahun 1789.

Isotop utamanya, U-235, digunakan dalam reaktor dan senjata nuklir karena bisa menjalankan reaksi fisi.

Karena langka, uranium perlu pengayaan sebelum digunakan.

Meski jadi sumber energi besar, penggunaannya berisiko bagi lingkungan dan keamanan global.

Tujuan Damai

Iran menyatakan, tetap terbuka untuk membahas tingkat pengayaan, namun menegaskan haknya untuk memperkaya uranium untuk tujuan damai adalah “tidak bisa dinegosiasikan”.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, dalam wawancara dengan IRNA menyebut pembahasan mengenai perpanjangan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231 sebagai “tidak berdasar”.

Resolusi 2231 menetapkan mekanisme bertahap untuk pelaksanaan JCPOA, termasuk penghapusan sanksi nuklir secara bertahap jika Iran mematuhi komitmennya.

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) diberi mandat untuk melakukan verifikasi ketat terhadap program nuklir Iran.

Selain itu, resolusi ini juga mencakup pembatasan aktivitas rudal balistik dan transfer senjata dalam Annex B.

Kepala IAEA Rafael Grossi pada hari yang sama mengatakan bahwa Iran telah memberi sinyal kesediaan memulai kembali diskusi teknis terkait program nuklir.

“Kami sedang merencanakan konsultasi teknis terlebih dahulu, yang kemudian dapat berlanjut ke level yang lebih tinggi,” ujar Grossi dalam pernyataan di Singapura, dikutip Reuters.

Namun, hubungan Iran dan IAEA menegang sejak akhir Juni, ketika Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menolak permintaan Grossi untuk menginspeksi situs nuklir yang rusak akibat serangan.

Araghchi menyebut permintaan tersebut “tidak berarti dan mungkin bermotif jahat”.

Baca juga: Iran Izinkan Tim IAEA Kunjungi Teheran, tapi Tolak Akses ke Lokasi Nuklir

Jika sanksi PBB kembali diberlakukan, hal ini dikhawatirkan akan semakin mengisolasi Iran dan memperburuk kondisi ekonominya yang telah tertekan.

Iran sebelumnya memperingatkan bahwa mereka dapat keluar dari perjanjian nonproliferasi nuklir global sebagai respons atas tekanan tersebut.

(Tribunnews.com/ Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan