Konflik Korea
Korea Utara Tutup Pintu Dialog, Upaya Damai Presiden Baru Korsel Ditolak
Korea Utara secara terbuka menolak tawaran dialog dari Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung.
Penulis:
Farrah Putri Affifah
Editor:
Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan telah diwarnai ketegangan sejak Perang Korea 1950–1953 yang berakhir tanpa perjanjian damai, hanya gencatan senjata.
Sejak itu, kedua negara secara teknis masih berperang.
Sepanjang sejarah, upaya rekonsiliasi sering kali terganjal oleh ambisi nuklir Pyongyang dan aliansi keamanan Seoul dengan Amerika Serikat, yang menempatkan sekitar 28.000 tentara di Korea Selatan.
Kini, harapan akan mencairnya ketegangan kembali memudar.
Korea Utara secara terbuka menolak tawaran dialog dari Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung.
Penolakan itu disampaikan oleh Kim Yo Jong, adik sekaligus orang kepercayaan pemimpin Korut Kim Jong Un, dalam sebuah pernyataan resmi pada Senin (28/7/2025).
Ia menegaskan bahwa Pyongyang “tidak berkepentingan dan tidak memiliki alasan” untuk berdialog dengan Seoul.
Pernyataan tegas Kim Yo Jong ini menjadi respons pertama terhadap pendekatan damai Presiden Lee yang menjabat sejak Juni lalu.
Setelah menjabat, Lee berupaya mengubah kebijakan konfrontatif pendahulunya dengan menghentikan siaran propaganda di perbatasan, langkah simbolis yang ditujukan untuk membuka jalan dialog, dikutip dari France24.
Korea Utara pun merespons dengan menghentikan siaran propagandanya, yang selama ini dikenal menyebarkan suara-suara mengganggu ke wilayah Selatan.
Namun, Kim menilai langkah Seoul tersebut bukan sesuatu yang layak diapresiasi.
Baca juga: Korsel Buka Jalur Tur ke Korea Utara, Strategi Baru Redakan Ketegangan Semenanjung
"Jika Korea Selatan berharap dapat membalikkan semua hasil yang telah dicapainya dengan beberapa kata sentimental, tidak ada yang bisa menjadi "salah perhitungan yang lebih serius", kata Kim dalam komentar yang dimuat oleh Kantor Berita Pusat Korea (KCNA), dikutip dari Al Jazeera.
Lebih lanjut, ia menyindir kepercayaan pemerintahan Lee terhadap aliansi militer dengan Amerika Serikat sebagai “kepercayaan buta”.
Menurutnya, ini menunjukkan tidak ada perubahan nyata dari kebijakan keras pemerintahan konservatif sebelumnya di bawah Presiden Yoon Suk-yeol.
“Kami menegaskan kembali bahwa apa pun kebijakan atau proposal yang diajukan oleh Seoul, kami tidak tertarik dan tidak ada yang perlu dibahas,” ujar Kim Yo Jong.
Ia bahkan menyatakan bahwa hubungan antar-Korea semakin tidak sejalan secara prinsip.
"Hubungan DPRK-ROK telah melampaui zona waktu konsep homogen," ujarnya, menggunakan akronim resmi Korea Utara.
Presiden Lee, yang berasal dari Partai Demokrat berhaluan kiri, memang dikenal lebih mendukung dialog dan pendekatan lunak terhadap Korea Utara.
Presiden Lee, yang menjabat bulan lalu setelah pendahulunya Yoon Suk-yeol dicopot dari jabatannya melalui deklarasi darurat militer sementara, datang dengan harapan untuk memperbaiki hubungan yang membeku di bawah pemerintahan sebelumnya.
Partai Demokrat yang condong ke kiri milik Lee dan para pendahulunya secara tradisional lebih menyukai hubungan yang lebih dekat dengan Korea Utara, berbeda dengan Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif.
Namun, penolakan tegas dari Kim Yo Jong menunjukkan bahwa perbedaan ideologi di Seoul tidak cukup untuk mengubah pandangan fundamental Pyongyang terhadap hubungan antar-Korea.
Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan
Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan retak berawal dari pembagian Semenanjung Korea usai Perang Dunia II, kedua negara ini lahir dari ideologi yang saling bertolak belakang.
Korea Selatan (Republik Korea) didukung Amerika Serikat dan negara-negara Barat, sementara Korea Utara (Republik Rakyat Demokratik Korea) didukung Uni Soviet dan China.
Perang Korea dan Gencatan Senjata (1950–1953)
Pada 25 Juni 1950, Korea Utara melancarkan invasi ke Korea Selatan, memicu pecahnya Perang Korea.
Konflik ini berlangsung selama tiga tahun dan menewaskan jutaan orang, baik dari militer maupun warga sipil.
Perang berakhir pada 27 Juli 1953 dengan penandatanganan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Ini berarti kedua negara secara teknis masih berperang hingga hari ini.
Garis Demiliterisasi (DMZ) dibentuk sebagai pemisah antara keduanya, namun tidak mengakhiri permusuhan.
Periode Konfrontasi dan Ketegangan
Dekade-dekade setelah perang diwarnai dengan berbagai insiden militer, spionase, dan retorika keras dari kedua pihak.
Korea Utara berkali-kali melakukan penyusupan dan serangan ke Selatan, sementara Korea Selatan memperkuat aliansinya dengan Amerika Serikat.
Perbedaan sistem politik, komunisme totaliter di Utara dan demokrasi kapitalis di Selatan, semakin memperdalam jurang pemisah.
Era Dialog (1990–2000-an)
Harapan rekonsiliasi mulai tumbuh pada awal 1990-an.
Kedua Korea menandatangani perjanjian non-agresi pada 1991 dan melakukan KTT bersejarah tahun 2000 antara Kim Dae-jung (Presiden Korea Selatan) dan Kim Jong-il (pemimpin Korea Utara).
Ini adalah pertemuan pertama sejak perang berakhir. Dikenal sebagai “Sunshine Policy”, kebijakan dialog dan bantuan ekonomi Korea Selatan bertujuan membuka pintu persaudaraan kembali.
Namun, harapan ini memudar dengan meningkatnya ambisi nuklir Korea Utara.
Uji coba nuklir pertama pada 2006 membuat dunia, termasuk Korea Selatan, waspada.
Meskipun beberapa KTT kembali digelar pada era Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong Un antara 2018–2019, hasil konkret dari pertemuan tersebut minim.
Hubungan Memburuk Kembali
Seiring berjalannya waktu, hubungan kedua negara kembali memburuk.
Korea Utara melanjutkan program nuklir dan misil balistiknya.
Sementara itu, di Korea Selatan terjadi pergantian pemerintahan yang kadang memperlunak, kadang memperkeras pendekatan terhadap Pyongyang.
Pada tahun 2025, ketegangan tetap tinggi.
Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung, mencoba membuka jalur diplomasi tanpa prasyarat.
Namun, Korea Utara melalui Kim Yo Jong, adik Kim Jong Un, menolak segala bentuk dialog.
Sikap ini mencerminkan ketidakpercayaan mendalam dan ketegangan struktural yang masih mengakar.
(Tribunnews.com/Farra)
Artikel Lain Terkait Korea Utara dan Korea Selatan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.