Konflik Rusia Vs Ukraina
Setelah 3 Pemimpin Dunia Bertemu, Apakah Perdamaian di Ukraina Semakin Dekat?
Pertemuan Trump, Zelensky, dan Putin di Alaska memunculkan harapan damai atas perang di Ukraina, tapi analis ragu gencatan senjata tercapai.
Penulis:
Andari Wulan Nugrahani
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM – Pertemuan tiga pemimpin dunia, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang berlangsung awal pekan ini belum menghasilkan terobosan signifikan menuju gencatan senjata di Ukraina.
Meski dukungan dari para pemimpin Eropa terhadap Kyiv disebut “belum pernah terjadi sebelumnya”, para analis menilai bahwa perdamaian masih jauh dari jangkauan.
“Kami akan memberi mereka perlindungan yang sangat baik,” ujar Trump saat duduk bersama Zelensky dan para pemimpin Eropa, seperti dikutip Al Jazeera.
Pertemuan tersebut berlangsung setelah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Alaska antara Trump dan Putin, yang juga gagal mencapai kesepakatan damai.
Banyak pihak mempertanyakan efektivitas perlindungan kolektif Barat dalam mendorong kesepakatan damai dan mencegah eskalasi baru.
Letnan Jenderal Ihor Romanenko, mantan wakil kepala staf umum militer Ukraina, menyatakan belum ada keputusan konkret terkait jaminan keamanan, pasokan senjata, maupun pengerahan pasukan Barat.
Volodymyr Fesenko, kepala lembaga pemikir Penta di Kyiv, menambahkan bahwa jaminan keamanan yang ditawarkan masih bersifat relatif dan tidak menjamin intervensi militer langsung jika Rusia kembali menyerang.
Al Jazeera melaporkan bahwa mekanisme baru bernama PURL (Daftar Persyaratan Prioritas Ukraina) telah disepakati, termasuk komitmen Eropa untuk membiayai pasokan senjata buatan AS senilai 100 miliar dolar AS dan kontribusi Berlin sebesar 500 miliar dolar AS untuk amunisi militer.
Namun, rencana pengerahan pasukan penjaga perdamaian Eropa ditolak keras oleh Moskow.
Kementerian Luar Negeri Rusia menyebutnya sebagai gagasan “tidak layak” dan “sama sekali tidak dapat diterima”.
Fesenko menyebut alternatif lain berupa kemitraan strategis Kyiv-Washington, serupa dengan model Mesir atau Korea Selatan.
Baca juga: Rusia Kembalikan 1.000 Jenazah Tentara Ukraina yang Tewas di Donetsk, Luhansk, dan Zaporizhzhia
Sikap Trump terhadap Zelensky juga berubah, dari sebelumnya menghentikan bantuan militer dan menyebutnya “tidak tahu berterima kasih”, menjadi lebih hangat dan terbuka terhadap kerja sama.
Zelensky pun menunjukkan perubahan sikap dengan mengenakan setelan resmi dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada tuan rumah.
Meski demikian, ia tetap menolak tuntutan Putin untuk menyerahkan wilayah Donbas sebagai syarat pembekuan konflik.
Di sisi lain, Uni Eropa dinilai gagal mengekang ekspor peralatan militer ke Rusia.
“Mereka tidak mengambil langkah nyata untuk membatasi ekspor material penting ke industri militer Rusia,” ujar Nikolay Mitrokhin dari Universitas Bremen kepada Al Jazeera.
Rusia disebut meningkatkan pembelian chip dan peralatan melalui negara-negara bekas Soviet seperti Kirgistan.
Analis Aleksey Kushch menilai bahwa perubahan sikap Trump terhadap perdamaian Ukraina berakar pada strategi geopolitik AS yang lebih besar.
Washington disebut ingin mengakhiri perang agar bisa fokus menghadapi Tiongkok, bukan Rusia.
“Tiongkok selalu menang jika terjadi konfrontasi antara AS dan Rusia,” ujarnya.
Veteran perang Ukraina, Yuri Bohdanchenko, menambahkan bahwa pola pikir Presiden Putin menjadi penghalang utama perdamaian.
“Putin tidak ingin terlihat lemah. Ia menggunakan perang sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menekan oposisi,” katanya kepada Al Jazeera.
Dengan berbagai kepentingan global yang saling bertabrakan, para analis menyimpulkan bahwa meski diplomasi terus berjalan, perdamaian di Ukraina masih jauh dari pasti.
Hasil Pertemuan Trump dengan Putin dan Zelensky
Pertemuan Trump dan Putin di Alaska pada Jumat (15/8/2025) kemarin berakhir tanpa kesepakatan konkret.
Akan tetapi, KTT Trump-Putin di Alaska dinilai sebagai kemenangan diplomatik bagi Putin.
Media seperti The Guardian dan AP menyebut KTT Trump-Putin di Alaska ini mengakhiri status Putin sebagai paria internasional sejak invasi ke Ukraina.
Istilah "paria internasional" merujuk pada negara atau aktor global yang terpinggirkan secara diplomatik dan moral oleh komunitas internasional karena tindakan, kebijakan, atau ideologinya dianggap melanggar norma global.
Baca juga: Serangan Drone Ukraina Picu Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd
Contoh negara yang pernah disebut sebagai paria internasional termasuk Korea Utara, Iran, dan Rusia pasca-invasi ke Ukraina.
Istilah ini bukan hanya label, tapi mencerminkan konsekuensi nyata dalam diplomasi, ekonomi, dan keamanan.
Meski Trump mengklaim ada “kemajuan besar,” tidak ada gencatan senjata atau konsesi nyata dari kedua pihak.
Seorang pejabat Rusia menyatakan bahwa Putin tidak memberi apa pun, tetapi tetap mendapatkan semua yang diinginkan.
Ukraina merasa kecewa dan dikhianati atas sambutan hangat Amerika terhadap Putin.
Warga Kyiv melihat pertemuan itu sebagai sinyal bahwa kepentingan Ukraina tidak lagi menjadi prioritas.
Analis memperingatkan bahwa hasil KTT bisa meningkatkan tekanan pada Ukraina untuk menerima syarat yang menguntungkan Rusia.
Trump bahkan menyerahkan tanggung jawab negosiasi kepada Zelensky dan negara-negara Eropa.
Pasca KTT Alaska, Trump bertemu Zelensky di Gedung Putih pada Senin (18/8/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Trump menyatakan komitmen untuk memberikan “perlindungan yang sangat baik” kepada Ukraina.
Namun, belum ada keputusan konkret terkait jaminan keamanan atau pengerahan pasukan Barat.
Zelensky menolak usulan Trump yang mendorong Ukraina menyerahkan wilayah Donbas sebagai syarat perdamaian.
Ia menegaskan bahwa penghentian pertempuran adalah syarat mutlak sebelum pembicaraan damai bisa dimulai.
Meski pertemuan berlangsung dalam suasana lebih hangat dibanding sebelumnya, Zelensky tetap bersikukuh menolak konsesi wilayah.
Trump, yang sebelumnya sempat menghentikan bantuan militer dan menyebut Zelensky “tidak tahu berterima kasih,” kini menunjukkan sikap lebih konstruktif.
Akar Konflik Rusia-Ukraina
Baca juga: Langit Ukraina Memerah, Rusia Lancarkan Serangan Rudal & Drone Targetkan Infrastruktur Energi
Pertikaian kedua negara bukanlah konflik yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari ketegangan historis yang terus membara sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
Saat Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya, hubungan antara Moskow dan Kyiv mulai dipenuhi kecurigaan dan perebutan pengaruh.
Ketegangan meningkat tajam pada 2014, ketika Revolusi Euromaidan menggulingkan pemerintahan pro-Rusia di Ukraina.
Sebagai respons, Rusia mencaplok Krimea dan mulai mendukung kelompok separatis bersenjata di wilayah Donbas.
Konflik yang semula bersifat regional ini akhirnya meletus menjadi invasi skala penuh pada Februari 2022, menandai babak baru dalam sejarah perang modern Eropa.
Perang ini bukan hanya soal wilayah dan kekuasaan, tetapi juga soal narasi, legitimasi, dan masa depan tatanan internasional.
Hingga hari ini, perang Rusia–Ukraina telah berlangsung selama 1.275 hari per Kamis (21/8/2025).
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.