Jumat, 5 September 2025

Konflik Palestina Vs Israel

AS Cabut Visa Mahmoud Abbas Jelang Sidang PBB, Palestina Kecewa dan Desak Pembatalan

Menjelang dimulainya Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat mencabut visa Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Foto PBB/Marco Castro
MAHMOUD ABBAS - Foto diambil dari website PBB, Kamis (24/4/2025), terlihat Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, menyampaikan pidato pada debat umum sesi keenam puluh empat Majelis Umum pada 25 September 2009. Menjelang dimulainya Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat mencabut visa Presiden Palestina Mahmoud Abbas. 

TRIBUNNEWS.COM - Menjelang dimulainya Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) yang dijadwalkan berlangsung pada pertengahan September 2025 di New York, Amerika Serikat mencabut visa Presiden Palestina Mahmoud Abbas beserta 89 pejabat Palestina lainnya.

Sidang PBB tahunan ini menjadi momen krusial di mana negara-negara anggota akan membahas sejumlah isu global.

Termasuk upaya menghidupkan kembali solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina dan pembahasan pengakuan negara Palestina.

Di mana konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak Oktober 2023, saat Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza.

Namun, keputusan AS yang beralasan atas "kepentingan keamanan nasional" ini menimbulkan kekecewaan mendalam dari pihak Palestina dan kritik internasional luas.

Palestina Kecewa, Desak AS Batalkan Keputusan

Kantor Presiden Palestina menyatakan keheranan dan mengecam pencabutan visa yang dilakukan Washington pada hari Sabtu (30/8/2025). 

Mahmoud Abbas, yang selama bertahun-tahun secara rutin berpidato di Majelis Umum PBB dan memimpin delegasi Palestina, kini dilarang memasuki AS untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi tersebut.

Juru bicara Abbas, Nabil Abu Rudeineh, menyampaikan kepada The Associated Press bahwa keputusan tersebut hanya akan memperburuk ketegangan di kawasan dan "meningkatkan eskalasi" konflik. 

"Kami menyerukan kepada pemerintah Amerika untuk membatalkan keputusannya. Kami sudah berkomunikasi dengan banyak negara Arab dan asing yang berkepentingan, dan upaya ini akan terus berlangsung," ujar Abu Rudeineh.

Ia juga meminta negara-negara yang akan menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi pada 22 September mendesak pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengubah keputusan tersebut. 

Baca juga: Ben Gvir Menyebut Presiden Palestina Mahmoud Abbas Sebagai Teroris

Konferensi itu, yang diselenggarakan bersama oleh Prancis dan Arab Saudi, bertujuan menghidupkan kembali dialog damai mengenai solusi dua negara antara Israel dan Palestina.

Tuduhan AS dan Reaksi Dunia

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio membenarkan pencabutan visa itu dengan alasan bahwa Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina (PA) tidak mematuhi komitmen mereka dan merusak prospek perdamaian. 

Rubio menuding PA melakukan "kampanye lawfare" dengan mengajukan kasus di Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional untuk menuntut pertanggungjawaban Israel atas dugaan pelanggaran hak di Gaza dan Tepi Barat.

Namun, Wakil Presiden Eksekutif Center for International Policy, Matt Duss, menilai keputusan AS sebagai pelanggaran protokol diplomatik yang jelas. 

“Apa yang terjadi di sini jelas didorong oleh ideologi,” kata Duss kepada Al Jazeera.

"Ada orang-orang di dalam pemerintahan Trump yang bekerja sama erat dengan pemerintah sayap kanan Israel dan tujuan mereka hanyalah menyingkirkan gerakan pembebasan Palestina dari agenda internasional," ujarnya.

“Mereka tidak mengakui hak rakyat Palestina untuk bernegara, dan mereka berdua berusaha mencegahnya di Palestina dan sekarang mereka mencoba menyingkirkannya dari agenda internasional di New York," tambahnya.

Uni Eropa juga mengecam langkah ini. 

Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Kaja Kallas, mendesak AS mempertimbangkan kembali keputusannya, mengingat perjanjian yang mengikat negara tuan rumah PBB untuk menjamin akses delegasi negara anggota. 

Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noël Barrot menyatakan bahwa Markas Besar PBB adalah tempat netral yang harus terbuka bagi semua pihak.

Sementara itu, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez menyampaikan dukungan tegasnya kepada Palestina dan mengutuk pencabutan visa yang dianggapnya "tidak adil". 

Ia menegaskan bahwa Palestina berhak menyuarakan pendapatnya di forum internasional seperti PBB.

Situasi Terkini di Gaza

Keputusan pencabutan visa ini diambil di tengah eskalasi kekerasan yang terus memburuk di wilayah Palestina, khususnya di Jalur Gaza. 

Militer Israel telah menyatakan kota terbesar di Gaza sebagai zona pertempuran, mengklaim bahwa wilayah tersebut tetap menjadi basis bagi kelompok Hamas. 

Serangan udara dan operasi militer Israel telah menyebabkan kerusakan luas dan jatuhnya korban jiwa di kalangan warga sipil Palestina.

Israel telah membunuh lebih dari 63.400 warga Palestina di Gaza sejak Oktober 2023.

Menurut data kementerian, serangan Israel sejak Oktober 2023 telah menewaskan sedikitnya 17.000 siswa sekolah dan lebih dari 1.200 mahasiswa di Gaza.

Di sisi lain, kekerasan juga meningkat di Tepi Barat, dengan konflik yang melibatkan militer Israel dan pemukim yang sering menimbulkan korban di pihak warga Palestina

Situasi ini memicu kecaman global dan dorongan untuk segera menghentikan serangan militer agar dialog damai dapat kembali dibuka.

Juru bicara kepresidenan Palestina, Nabil Abu Rudeineh, menyerukan pengakhiran serangan Israel dan menekankan bahwa eskalasi kekerasan hanya akan memperpanjang penderitaan dan menghambat solusi damai yang sudah lama dicari.

(Tribunnews.com/Farra)

Artikel Lain Terkait Mahmoud AbbasAmerika Serikat dan Konflik Palestina vs Israel

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan