Cara Gen Z Nepal Munculkan People Power Gulingkan PM Oli, Ada Jalan saat Medsos Diblokir Pemerintah
Generasi Z (Gen Z) Nepal menunjukkan kekuatan luar biasa melalui gerakan people power memaksa PM Oli lengser
Penulis:
Facundo Chrysnha Pradipha
Editor:
Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Generasi Z (Gen Z) Nepal menunjukkan kekuatan luar biasa melalui gerakan "people power" yang berhasil memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri pada Selasa (9/9/2025).
Aksi protes besar-besaran di ibu kota Kathmandu dan berbagai daerah lain dipicu oleh kemarahan terhadap korupsi yang merajalela.
Meski pemerintah memblokir platform media sosial utama seperti Facebook untuk meredam gerakan antikorupsi, para aktivis muda dengan cerdik beralih ke aplikasi seperti Viber dan TikTok.
Ribuan warga pun turun ke jalan, menciptakan gelombang protes yang mengguncang pemerintahan.
Pemblokiran media sosial oleh pemerintah Nepal minggu lalu diklaim sebagai upaya menangkal berita palsu.
Namun, para aktivis melihatnya sebagai strategi untuk membungkam suara rakyat, khususnya gerakan antikorupsi yang kian berkembang di dunia maya.
Tidak menyerah, generasi muda Nepal menggunakan aplikasi yang masih bisa diakses dan jaringan pribadi virtual (VPN) untuk mengorganisir aksi, dikutip dari Asia One.
Hasilnya, protes yang awalnya spontan ini berujung pada pengunduran diri Oli, meski harus dibayar mahal dengan nyawa setidaknya 19 pengunjuk rasa.
Kemenangan ini mengingatkan pada peristiwa di Bangladesh 13 bulan lalu, ketika protes yang dipimpin pemuda berhasil menggulingkan Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang telah berkuasa sejak 2009.
Di Nepal, kemarahan rakyat terhadap pemerintahan Oli sudah menumpuk selama berbulan-bulan.
Baca juga: Sosok Balen Shah, Rapper Jadi Politisi Pilihan Gen Z Nepal untuk Jabat Posisi Perdana Menteri Baru
Transparency International menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, mencerminkan masalah tata kelola yang parah.
Selain korupsi, ketimpangan ekonomi dan tingginya angka pengangguran menjadi bahan bakar protes.
Menurut Bank Dunia, lebih dari 20 persen dari 30 juta penduduk Nepal hidup di bawah garis kemiskinan.
Pengangguran di kalangan usia 15-24 tahun mencapai lebih dari 22 persen pada 2022-2023.
Kesenjangan ekonomi juga mencolok: 10 persen penduduk terkaya menghasilkan lebih dari tiga kali lipat pendapatan 40% penduduk termiskin.
Kondisi ini memicu frustrasi besar, terutama di kalangan generasi muda yang merasa kehilangan harapan akan masa depan.
Sandip, seorang influencer berusia 31 tahun dari distrik Lalitpur dekat Kathmandu, menjadi salah satu penggerak utama.
Dengan menggunakan VPN untuk mengelabui pemblokiran medsos, ia menyebarkan seruan protes secara daring.
"Rakyat Nepal sudah muak dengan pemerintahan yang korup," katanya.
Ia tidak menyangka ajakannya akan direspons ribuan warga yang memadati jalan-jalan ibu kota dan daerah lain.
"Semua bergerak begitu cepat, ini benar-benar kekuatan rakyat," tambahnya.
Gaurav Nepune, aktivis berusia 34 tahun dari Kathmandu, juga memainkan peran besar.
Selama tiga bulan, ia dan kelompoknya menggelar kampanye daring yang membandingkan gaya hidup mewah para menteri dan keluarganya dengan penderitaan rakyat biasa.
"Kami melawan korupsi, tapi pemerintah malah menggunakan kekerasan untuk membungkam kami," ujar Nepune.
Ia menegaskan, para pengunjuk rasa menginginkan pemerintahan yang bersih, independen, dan tidak menjadi boneka negara tetangga seperti India atau Tiongkok, yang sering disebut berebut pengaruh di Nepal.
Meski protes ini berujung tragis dengan korban jiwa, semangat generasi muda tak padam.
Mereka menyerukan perubahan besar dan menolak kekerasan.
"Kami terus mengingatkan rakyat agar tidak terprovokasi untuk melakukan kekerasan atau perusakan," kata Nepune.
"Kami ingin pemerintahan yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elit."
Baca juga: Demo Gen Z Nepal dari Larangan Media Sosial ke Penjarahan dan Pembakaran
Gandrungi Rapper
Di tengah gelombang protes, nama Balendra Shah muncul sebagai sosok harapan.
Wali kota Kathmandu berusia 35 tahun ini dikenal sebagai mantan rapper dan komposer yang sukses membersihkan jalanan dan saluran air kota sejak menjabat pada 2022.
Banyak pengunjuk rasa mendukungnya untuk menggantikan Oli.
Bimal Pokhrel, seorang warga, menulis di X, "Kepada @ShahBalen, kamu adalah harapan terakhir kami. Maju dan pimpin Nepal menuju masa depan yang lebih cerah!"
Setelah kematian pengunjuk rasa pada Senin, Shah dengan tegas menyebut Oli sebagai "teroris" yang tidak memahami penderitaan rakyat kehilangan anak.
Ketika Oli akhirnya mengundurkan diri pada Selasa, Shah mengajak 784.000 pengikutnya di Instagram untuk tetap tenang.
"Generasi Z yang terhormat, para pengganggu di dunia politik sudah mundur! Sekarang, sabar dan tahan diri," tulisnya.
"Kalian harus memimpin negara ini. Bersiaplah untuk masa depan!"
Keberhasilan Gen Z Nepal menggulingkan Oli menunjukkan kekuatan solidaritas dan kreativitas mereka dalam mengatasi rintangan, termasuk pemblokiran media sosial.
Dengan memanfaatkan teknologi dan semangat kolektif, mereka tidak hanya mengakhiri kekuasaan Oli, tetapi juga membuka jalan bagi harapan akan Nepal yang lebih adil dan bebas korupsi.

23 Tewas
Setidaknya 23 orang tewas, termasuk 19 pengunjuk rasa, 3 petugas polisi, dan Rajyalaxmi Chitrakar, istri mantan Perdana Menteri Jhalanath Khanal, yang tewas ketika rumah mereka dibakar, seperti diberitakan News Live
Lebih dari 347 orang terluka dalam bentrokan tersebut.
Tentara Nepal telah dikerahkan untuk memulihkan ketertiban, menegakkan jam malam, dan memperingatkan bahwa tindakan vandalisme, penjarahan, dan pembakaran akan ditindak tegas. Helikopter tentara telah mengevakuasi para menteri dari kediaman mereka di tengah kekacauan.
Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri pada 9 September 2025, menyusul meningkatnya protes. Presiden Ram Chandra Paudel telah menerima pengunduran dirinya, dan Oli tetap menjabat sebagai pemimpin sementara.
Protes dipicu oleh rasa frustrasi atas tingginya angka pengangguran di kalangan muda (sekitar 20 persen), korupsi, dan persepsi nepotisme di kalangan elit politik. Tren media sosial yang menyoroti hak istimewa anak-anak politsi, yang dijuluki "Nepo Kids", telah meningkatkan kemarahan publik.
Bandara Internasional Tribhuvan di Kathmandu ditutup karena kerusuhan, mengganggu penerbangan dan memicu dikeluarkannya imbauan perjalanan.
Para pengunjuk rasa tidak hanya menentang larangan media sosial—mereka juga menyuarakan kemarahan yang telah lama ada terhadap korupsi, nepotisme politik, pengangguran kaum muda, dan ketidakstabilan kronis. Keluhan struktural ini menciptakan lingkungan yang sangat tegang.
Generasi Z khususnya menyalurkan rasa frustrasi mereka melalui #Nepokids yang viral dan kampanye antikorupsi.
(Tribunnews.com/ Chrysnha)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.