Sabtu, 1 November 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Israel Pasang Garis Merah, Tolak Campur Tangan Militer Turki di Gaza

Israel tolak militer Turki gabung misi pasukan internasional di Gaza, sebut tak netral, sementara Indonesia siap kirim pasukan jika disetujui PBB.

Editor: Nuryanti
YouTube Al Jazeera
REKONTRUKSI GAZA - Tangkapan layar menunjukkan detik-detik bangunan di Kota Gaza. Israel tolak militer Turki gabung misi pasukan internasional di Gaza karena dianggap tidak netral dan bersikap bermusuhan terhadap Israel, sementara Indonesia siap kirim pasukan jika disetujui PBB. 
Ringkasan Berita:
  • Israel menolak campur tangan militer Turki dalam Pasukan Stabilisasi Internasional karena dianggap tidak netral dan bersikap bermusuhan terhadap Israel.
  • Negara-negara dunia masih memperdebatkan mandat pasukan di Gaza, apakah bersifat penjagaan perdamaian (peacekeeping) atau penegakan perdamaian (peace enforcement).
  • Sementara  Indonesia menyatakan kesiapan ikut menjaga perdamaian di Gaza bersama negara lain, namun masih menunggu mandat resmi PBB

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menegaskan bahwa Israel tidak akan menerima keterlibatan pasukan bersenjata Turki dalam operasi internasional di Jalur Gaza.

Pernyataan ini disampaikan Sa’ar dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Hungaria Peter Szijjarto pada Senin (27/10/2025) di Budapest.

Dalam keterangan resminya ia menegaskan bahwa Israel hanya akan mempertimbangkan partisipasi negara-negara yang bersikap adil dan netral terhadap kepentingan keamanan Israel.

Namun ia menolak keterlibatan pasukan Turki dalam Pasukan Stabilisasi Internasional tersebut.

Ia menuding Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memiliki sikap permusuhan terhadap Israel dan tidak dapat dianggap sebagai pihak yang netral.

“Negara-negara yang ingin atau siap mengirim pasukan bersenjata setidaknya harus bersikap adil terhadap Israel,” ujar Sa’ar, sebagaimana dikutip dari APNews.

Adapun penolakan dilakukan usai gencatan senjata antara Israel dengan Hamas disepakati, dimana dalam kesepakatan 20 poin yang dimediasi oleh Presiden AS Donald Trump awal bulan ini, Israel berencana membentuk Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza.

Upaya ini dirancang untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, menjaga keamanan, serta membantu proses rekonstruksi wilayah yang porak-poranda akibat perang panjang.

Dalam rencana tersebut, Amerika Serikat mengambil peran sebagai penggerak utama, dengan berjanji akan bekerja sama dengan mitra Arab dan internasional untuk membentuk pasukan sementara yang bertugas menegakkan stabilitas di Gaza.

Meskipun begitu, Washington menegaskan bahwa tidak akan menempatkan pasukan militernya secara langsung di lapangan, melainkan berperan sebagai koordinator dan penyandang strategi diplomatik.

Pasukan Stabilisasi Internasional ini diharapkan akan berfungsi sebagai penghubung antara pihak Israel, otoritas Palestina, dan komunitas internasional, membantu menciptakan sistem keamanan yang lebih teratur.

Baca juga: Agresi Israel di Timur Tengah Belum Reda Meski Gencatan Senjata Diteken di Gaza

Mereka juga akan berkonsultasi dengan Yordania dan Mesir, dua negara yang memiliki pengalaman panjang dalam menjaga perdamaian dan menangani konflik di kawasan tersebut.

Namun, penolakan Israel memperlihatkan betapa rapuhnya koordinasi antarnegara dalam mewujudkan pasukan ini.

Menggambarkan adanya ketegangan diplomatik dan ketidaksinkronan politik di antara negara-negara yang terlibat dalam rencana pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza.

Dunia Terbelah Soal Mandat Pasukan Internasional di Gaza

Ketidakjelasan mengenai mandat Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza memunculkan perdebatan tajam di antara negara-negara dunia, terutama di kalangan negara Arab dan Muslim.

Mereka menilai bahwa tujuan dan peran pasukan internasional harus ditentukan secara jelas sebelum diterjunkan ke wilayah konflik.

Sejumlah negara menekankan bahwa mandat pasukan tersebut harus bersifat penjagaan perdamaian (peacekeeping), bukan penegakan perdamaian (peace enforcement).

Perbedaan istilah ini dianggap penting karena akan menentukan sejauh mana pasukan itu berhak menggunakan kekuatan militer di lapangan.

Dalam wawancara dengan BBC International, Raja Abdullah II dari Yordania menegaskan bahwa mandat pasukan harus berorientasi pada pemeliharaan stabilitas, bukan operasi militer aktif.

“Jika mandatnya penegakan perdamaian, tidak ada negara yang mau menyentuhnya,” ujar Raja Abdullah II dengan nada tegas.

Pernyataan itu mencerminkan kekhawatiran luas di kalangan negara-negara regional bahwa operasi militer yang bersifat ofensif justru bisa memperburuk situasi dan menimbulkan bentrokan baru di Gaza.

Banyak pihak menilai, jika pasukan internasional terlalu berpihak atau diberi kewenangan berlebihan, hal itu dapat memicu ketegangan antara Israel, Hamas, dan masyarakat Palestina.

RI Bersiap Kirim Pasukan ke Gaza

Sementara itu di tengah ketidak jelasan mengenai mandat Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza, Indonesia dikabarkan bakal bergabung dengan Mesir, Turki, dan Azerbaijan untuk mengirim 4.000 pasukan penjaga perdamaian ke Jalur Gaza, Palestina.

Kesiapan Indonesia itu disampaikan Prabowo di KTT ASEAN-Amerika Serikat di Kuala Lumpur, Malaysia, yang turut dihadiri Trump pada 26 Oktober 2025.

Meski demikian, hingga kini posisi Indonesia dalam pasukan perdamaian itu masih belum sepenuhnya jelas. 

Pemerintah belum memastikan apakah Indonesia akan berperan sebagai penyokong logistik dan kemanusiaan, atau menjadi pasukan inti yang ditempatkan langsung di lapangan.

Beberapa media Israel melaporkan bahwa Indonesia dan Azerbaijan disebut-sebut akan menjadi bagian dari pasukan inti dalam ISF di Gaza.

Harian Israel Hayom, dalam laporannya, menyebut bahwa isu ini muncul dalam diskusi terbaru antara Wakil Presiden AS JD Vance dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Sementara juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Yvonne Mewengkang, menyatakan bahwa pemerintah masih menunggu perkembangan situasi dan keputusan resmi dari PBB sebelum mengambil langkah konkret

“Pemerintah Indonesia terus memantau dengan saksama perkembangan di Gaza dan mendukung penuh upaya rekonstruksi pasca perang,” ujar Yvonne dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/10/2025).

Indonesia selama ini dikenal aktif dalam misi perdamaian dunia di bawah bendera PBB (United Nations Peacekeeping Operations).

Dengan pengalaman panjang dalam operasi penjaga perdamaian di berbagai wilayah konflik, Indonesia dinilai berpotensi menjadi salah satu negara kunci dalam upaya menstabilkan Gaza.

(Tribunnews.com / Namira)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved