Minggu, 9 November 2025

Konflik Suriah

Dewan Keamanan PBB Cabut Sanksi terhadap Presiden Suriah, Langkah Bersejarah Pasca Kejatuhan Assad

DK PBB mencabut sanksi terhadap Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan Menteri Dalam Negeri Anas Khattab, dukung transisi politik baru.

Editor: Nuryanti
Tangkapan layar YouTube Al Jazeera
AHMED AL-SHARAA - Tangkapan layar YouTube Al Jazeera pada Senin (10/3/2025) menunjukkan Pidato Presiden Sementara Suriah, Ahmed Al-Sharaa tentang bentrokan di Latakia dan Tartous pada Minggu (9/3/2025). al-Sharaa, telah mengumumkan pembentukan sebuah komite untuk melakukan penyelidikan terkait peristiwa berdarah yang terjadi di pesisir Suriah. Terbaru, sanksi terhadap Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan Menteri Dalam Negeri Anas Khattab dalam resolusi yang disponsori Amerika Serikat, Kamis (6/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Dewan Keamanan PBB mencabut sanksi terhadap Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan Menteri Dalam Negeri Anas Khattab lewat resolusi yang disponsori AS, Kamis (6/11/2025).
  • 14 dari 15 anggota mendukung, dengan Tiongkok abstain.
  • Langkah ini menandai babak baru bagi Suriah pascakejatuhan rezim Assad dan dinilai sebagai sinyal kuat bahwa Damaskus memasuki era stabilitas dan rekonsiliasi nasional.

TRIBUNNEWS.COM – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mencabut sanksi terhadap Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan Menteri Dalam Negeri Anas Khattab dalam resolusi yang disponsori Amerika Serikat, Kamis (6/11/2025).

Reuters melaporkan, resolusi itu disetujui oleh 14 dari 15 anggota Dewan, dengan Tiongkok memilih abstain.

Pencabutan sanksi ini menghapus nama kedua pejabat dari daftar sanksi kelompok teroris ISIS dan al-Qaeda, yang telah diberlakukan sejak 2014.

Langkah tersebut menjadi tonggak penting bagi pemerintahan baru Suriah setelah kejatuhan rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024.

Al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal sebagai pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kini memimpin pemerintahan transisi di Damaskus.

Menurut Al Jazeera, keputusan ini diambil setelah AS dan sekutunya menilai Suriah menunjukkan kemajuan dalam perang melawan terorisme, memperluas akses kemanusiaan, serta berkomitmen membangun stabilitas nasional.

“Resolusi ini menjadi sinyal politik kuat bahwa Suriah telah memasuki era baru,” kata Duta Besar AS untuk PBB Mike Waltz.

Rusia mendukung keputusan tersebut, dengan Duta Besar Vassily Nebenzia menyebutnya sebagai “langkah penting menuju pemulihan dan pembangunan ekonomi Suriah.”

Sementara itu, Duta Besar China Fu Cong menjelaskan bahwa abstensi negaranya didasari kekhawatiran terhadap ancaman kelompok teroris asing, termasuk Gerakan Islam Turkistan Timur (ETIM) di Suriah.

New York Times menulis, keputusan ini juga membuka jalan bagi pertemuan bersejarah antara Presiden al-Sharaa dan Presiden AS Donald Trump di Washington minggu depan.

Ini akan menjadi kunjungan pertama pemimpin Suriah ke Gedung Putih sejak negara itu merdeka pada 1946.

Baca juga: Hubungan AS dan Suriah Kian Mesra, Trump Dikabarkan Bakal Bangun Pangkalan Militer di Damaskus

Langkah PBB itu disambut baik di dalam negeri.

Duta Besar Suriah untuk PBB Ibrahim Olabi menyebut keputusan tersebut sebagai “lencana kehormatan” dan tanda tumbuhnya kepercayaan dunia terhadap Suriah yang baru.

“Negara kami sedang membuka lembaran baru, membangun masa depan berdasarkan hukum dan rekonsiliasi,” ujarnya, dikutip dari UN News.

Sejumlah analis menilai pencabutan sanksi ini sebagai bagian dari upaya global untuk mengakhiri isolasi Suriah dan mendorong rekonstruksi pascaperang yang telah berlangsung selama 13 tahun.

Akar Konflik Suriah

Konflik Suriah bermula pada gelombang Arab Spring tahun 2011.

Ribuan warga turun ke jalan menuntut reformasi politik dan diakhirinya rezim otoriter Bashar al-Assad yang telah berkuasa sejak 2000, menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad.

Rezim Assad menanggapi demonstrasi dengan kekerasan brutal, memicu pemberontakan bersenjata yang berkembang menjadi perang saudara.

Menurut laporan BBC News, aksi protes yang awalnya damai itu berubah menjadi konflik berdarah setelah pasukan keamanan menembaki demonstran di Daraa dan Homs.

Seiring waktu, negara terpecah menjadi banyak faksi.

Pemerintah Assad mendapat dukungan dari Rusia, Iran, dan milisi Hizbullah, sementara oposisi bersenjata — termasuk Free Syrian Army (FSA) — berjuang untuk menggulingkan rezim.

Di sisi lain, kelompok ekstremis seperti ISIS dan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) muncul dari pecahan Al-Qaeda di Suriah, sebagaimana dijelaskan oleh Al Jazeera dalam laporan “Timeline of the Syrian War.”

Pertempuran besar di Aleppo, Idlib, dan Homs menghancurkan infrastruktur, menewaskan ratusan ribu orang, dan memaksa jutaan warga mengungsi.

Keterlibatan AS, Rusia, Turki, dan Iran memperumit perang antara 2016 dan 2020.

Menurut Reuters, kekacauan politik pascateror ISIS membuat HTS — yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa (alias Abu Muhammad al-Julani) — memperkuat cengkeramannya di wilayah barat laut, terutama Idlib.

Setelah ISIS hancur pada 2019, perhatian dunia beralih ke dominasi kelompok HTS yang berupaya menampilkan diri sebagai kekuatan Islam moderat.

Baca juga: Rusia Kembali Jamah Suriah: Lanjutkan Penerbangan Militer Seiring Mencairnya Hubungan Pasca-Assad

Setelah lebih dari satu dekade perang, Assad kehilangan dukungan luas akibat tekanan ekonomi, korupsi, dan sanksi internasional.

Menurut laporan The Guardian dan UN News, krisis bahan bakar dan pangan memperburuk keadaan, sementara oposisi membentuk koalisi nasional dengan mediasi diplomatik PBB.

Pada Desember 2024, koalisi militer internal dan tekanan eksternal akhirnya memaksa Assad mengundurkan diri.

Ahmed al-Sharaa, yang sebelumnya memimpin HTS yang direformasi menjadi partai politik “Gerakan Kebangkitan Nasional”, muncul sebagai tokoh kompromi.

Ia dinilai mampu menjembatani kelompok Islamis moderat, oposisi, dan pihak militer, sehingga didukung dalam pembentukan pemerintahan transisi di Damaskus.

Laporan New York Times menyebut, dukungan internasional terhadap al-Sharaa datang karena ia dianggap pragmatis dan terbuka pada kerja sama dengan Barat.

Pemerintahan al-Sharaa berjanji melawan sisa kelompok ekstremis, membuka jalur kemanusiaan, menjalankan reformasi politik dan ekonomi, serta membangun kembali hubungan dengan dunia internasional.

Langkah PBB mencabut sanksi terhadap al-Sharaa dan Menteri Dalam Negeri Anas Khattab pada 6 November 2025, menjadi simbol akhir isolasi diplomatik Suriah dan awal fase rekonstruksi nasional.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved