Sabtu, 22 November 2025

Konflik India dan Pakistan

Laporan AS Bocorkan Cara China Raup Keuntungan dari Perang India Vs Pakistan: Rafale Jadi Propaganda

Laporan terbaru Kongres Amerika Serikat menyebut, pemenang sesungguhnya dari perang empat hari itu bukan India atau Pakistan, melainkan China.

Dassault Rafale
PERANG INDIA PAKISTAN - Pesawat tempur Dassault Rafale buatan Perancis. China disebut memanfaatkan perang India vs Pakistan sebagai propaganda. Kedutaan China diduga menggunakan gambar puing pesawat hasil rekayasa AI dan cuplikan video gim untuk memperkuat klaim bahwa jet tempur buatan mereka berhasil menembak jatuh beberapa Rafale. 
Ringkasan Berita:
  • Laporan Kongres AS menyebut China adalah pihak yang paling diuntungkan dari perang India dan Pakistan.
  • Beijing menjadikan konflik sebagai ajang uji coba senjata dan sistem intelijen canggih.
  • China memanfaatkan klaim jatuhnya jet Rafale India sebagai bahan propaganda penjualan senjata.
  • Kedutaan China diduga menggunakan gambar rekayasa AI dan cuplikan video gim untuk memperkuat klaim.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Siapa yang memenangkan peperangan singkat India Vs Pakistan pada Mei 2025 lalu masih terus diperdebatkan.

Analis militer dari kedua belah pihak saling mengklaim negara mereka yang unggul beserta klaim dan argumentasinya.

Namun laporan terbaru Kongres Amerika Serikat menyebut, pemenang sesungguhnya dari perang empat hari itu bukan India atau Pakistan, melainkan China.

Beijing disebut secara oportunistik menjadikan konflik sebagai ajang uji coba langsung bagi sistem persenjataan dan intelijen canggihnya. 

Hasil uji coba itu kemudian dipasarkan secara agresif untuk menekan penjualan senjata Barat. 

“China memanfaatkan konflik untuk menguji sekaligus memamerkan kecanggihan senjatanya, relevan dengan ketegangan perbatasan dengan India dan ambisi industri pertahanannya,” tulis laporan Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan AS–China.

Perang Udara di Perbatasan

Serangan teroris di Kashmir yang menewaskan puluhan turis India menjadi pemicu utama dalam perang Mei lalu.

Pemerintah India menuduh kelompok militan yang berbasis di Pakistan sebagai dalang.

New Delhi merespons serangan itu dengan kekuatan militer.

India meluncurkan Operasi Sindoor pada 7 Mei. Serangan rudal diarahkan ke sejumlah titik di wilayah Pakistan, dengan klaim bahwa targetnya adalah kamp teroris.

Konflik kemudian berkembang menjadi bentrokan udara besar yang berlangsung selama empat hari, 7–10 Mei.

Pertempuran di langit pada malam 7 Mei disebut sebagai yang terbesar sejak perang 1971, dengan lebih dari 125 jet tempur dari kedua negara terlibat.

Pakistan mengklaim berhasil menembak jatuh lima hingga enam jet India, termasuk Rafale, Sukhoi, dan Mirage.

India mengakui ada kerugian, tetapi menolak merinci jumlah dan jenis pesawat. Sebaliknya, India mengklaim menghancurkan 9–10 jet Pakistan, termasuk F-16 buatan AS dan JF-17 buatan China.

Bentrok India–Pakistan pada 7–10 Mei 2025 juga menjadi panggung debut bagi berbagai sistem senjata China

Pakistan menggunakan jet tempur JF-17 dan J-10C, rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15, sistem pertahanan HQ-9 dan HQ-16, hingga drone dan satelit pengintai BeiDou. 

Peristiwa ini penting karena terakhir kali China terlibat perang aktif adalah melawan Vietnam pada akhir 1970-an. 

Ketika itu Beijing masih mengandalkan senjata buatan Soviet, sementara industri pertahanan domestik belum berkembang.

Sejak itu, China berhasil membangun industri senjata berteknologi tinggi, meski menurut laporan SIPRI 2025 pangsa ekspor senjata globalnya baru 5,9 persen, dengan Pakistan sebagai pembeli utama. 

Salah satu hambatan terbesar penjualan senjata China adalah belum pernah teruji di medan tempur. Konflik India–Pakistan memberi Beijing kesempatan untuk menutup celah tersebut.

Ajang Uji Coba Senjata

Berdasarkan laporan Kongres AS, bentrokan itu menjadi kali pertama sistem senjata modern China—termasuk HQ-9, PL-15, dan J-10—digunakan dalam pertempuran nyata. 

“Konflik ini berfungsi sebagai eksperimen lapangan yang sesungguhnya,” tulis laporan itu. 

Namun, laporan juga mengingatkan agar bentrokan India–Pakistan tidak semata dibaca sebagai “proxy-war” China. Situasi lebih kompleks, dengan dinamika regional dan rivalitas lama India–Pakistan yang menjadi pangkal ketegangan.

Berapa Jet yang Jatuh?

Ini adalah pertanyaan penting yang jawabannya bergantung pihak yang menerangkan.

Pertanyaan yang masih mengemuka sejak bentrokan Mei adalah berapa jet tempur yang jatuh. 

Pertempuran udara pada malam 7 Mei disebut sebagai yang terbesar sejak perang 1971, dengan lebih dari 125 jet terlibat. 

Pakistan mengklaim menembak jatuh lima jet India, termasuk tiga Rafale, lalu mengubah klaim menjadi enam jet. India mengakui ada kerugian tetapi menolak merinci jumlah dan jenis pesawat.

Presiden AS Donald Trump sempat menyebut delapan jet jatuh. Namun laporan Kongres AS terbaru menyebut hanya tiga jet India yang ditembak jatuh, dan tidak semuanya Rafale

Kepala Staf Angkatan Udara Prancis, Jérome Bellanger, juga menyatakan bukti menunjukkan tiga kerugian India: satu Rafale, satu Sukhoi buatan Rusia, dan satu Mirage 2000. 

Sementara CEO Dassault Aviation, Éric Trappier, menegaskan India hanya kehilangan satu Rafale akibat kegagalan teknis di ketinggian 12.000 meter, bukan karena serangan musuh.

China Jadikan Rafale Sebagai Propaganda

Setelah konflik mereda, Kedutaan Besar China justru dilaporkan gencar mempromosikan keberhasilan sistem senjatanya. 

Penggunaan senjata China oleh Pakistan untuk menjatuhkan jet tempur Rafale milik India dijadikan bahan promosi utama.

Namun, laporan itu juga menyebut propaganda tersebut disertai manipulasi. 

Kedutaan China diduga menggunakan gambar puing pesawat hasil rekayasa AI dan cuplikan video gim untuk memperkuat klaim bahwa jet tempur buatan mereka berhasil menembak jatuh beberapa Rafale.

Menurut intelijen Prancis, China bahkan melancarkan kampanye disinformasi untuk menghambat penjualan Rafale dan mendorong jet tempur J-10 buatan mereka. 

Lebih dari 1.000 akun media sosial palsu dibuat untuk menyebarkan narasi keunggulan teknologi China.

Kampanye ini sempat berdampak. Laporan menyebut staf Kedutaan China berhasil meyakinkan Indonesia untuk menunda pembelian Rafale

Namun keberhasilan itu tidak bertahan lama. Indonesia tetap melanjutkan pesanan 42 unit Rafale dan bahkan menandatangani Letter of Intent (LoI) tambahan untuk 24 unit lagi.

Meski begitu, bentrokan India–Pakistan tetap memberi dorongan citra bagi jet tempur China. Azerbaijan meneken kontrak senilai 4,6 miliar dolar AS untuk membeli 40 unit JF-17 Block III, sementara Indonesia juga menandatangani kesepakatan pembelian 42 unit J-10C.

Laporan Kongres AS menegaskan, perang singkat itu menunjukkan keuntungan berlapis bagi Beijing. Dengan mempersenjatai Pakistan, China bisa menjaga India tetap sibuk di perbatasan barat sekaligus menjadikan konflik sebagai ajang uji coba senjata canggih.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved