Mi Instan Indonesia Diduga Mengandung Kimia Berbahaya di Taiwan, BPOM Beberkan Hasil Uji Lengkap
BPOM menegaskan telah melakukan pengujian terhadap sampel produk mi instan yang sama dengan yang dilaporkan di Taiwan.
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Isu soal dugaan kandungan bahan kimia berbahaya dalam mi instan asal Indonesia kembali mencuri perhatian publik.
Baru-baru ini, Taiwan Food and Drug Administration (FDA) mengumumkan temuan etilen oksida (EtO) dalam salah satu varian mi instan yang beredar di negaranya.
Baca juga: Heboh Mi Instan di Taiwan Terdeteksi Etilen Oksida, BPOM Beberkan Fakta Resmi
Kabar tersebut sontak membuat resah sebagian masyarakat.
Mengingat mi instan merupakan salah satu produk pangan yang paling banyak dikonsumsi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Klarifikasi dari BPOM Indonesia
Menanggapi pemberitaan tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI bergerak cepat.
Melalui keterangan resminya, BPOM menegaskan telah melakukan pengujian terhadap sampel produk mi instan yang sama dengan yang dilaporkan di Taiwan.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa EtO maupun senyawa turunannya, 2-kloroetanol (2-CE), tidak terdeteksi dalam sampel tersebut.
Artinya, produk mi instan tersebut memenuhi standar keamanan pangan yang berlaku di Indonesia maupun standar internasional.
“BPOM telah melakukan perluasan sampling dan pengujian terhadap produk yang beredar di Indonesia, termasuk pada batch yang berbeda. Hasilnya sama, yaitu tidak terdeteksi baik EtO maupun 2-CE,” tegas BPOM dalam pernyataan resminya, Jumat (19/9/2025).
Standar Batas Maksimal Residu yang Berlaku
Sebagai informasi, di Indonesia EtO sudah lama dilarang digunakan sebagai pestisida, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019.
BPOM pun telah menetapkan batas maksimal residu (BMR) EtO sebesar 0,01 mg/Kg.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memperbolehkan hingga 7 mg/Kg, Singapura menetapkan 50 mg/Kg pada rempah, sedangkan Uni Eropa lebih ketat dengan kisaran 0,01–0,1 mg/Kg.
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi Indonesia justru termasuk yang cukup ketat dalam mengatur kandungan EtO pada pangan olahan.
Upaya BPOM Menjaga Reputasi Produk Lokal
Selain memastikan keamanan produk di dalam negeri, BPOM juga melakukan langkah diplomasi dengan meminta klarifikasi kepada Taiwan FDA.
Langkah ini penting untuk menyamakan metode analisis, parameter uji, hingga kesimpulan yang diambil.
“BPOM berkomitmen melakukan pengawalan ekspor untuk menjaga reputasi produk pangan olahan Indonesia dan meningkatkan daya saingnya di pasar global,” tulis BPOM.
Selain itu, BPOM mengimbau pelaku usaha untuk selalu memahami regulasi negara tujuan ekspor.
Dengan begitu, produk Indonesia dapat terus diterima di pasar internasional tanpa kendala.
Di sisi lain, masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan bijak dalam menanggapi isu ini.
BPOM menekankan pentingnya menjadi konsumen cerdas dengan melakukan Cek KLIK (Kemasan, Label, Izin edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli maupun mengonsumsi produk pangan.
“BPOM mengharapkan masyarakat menjadi konsumen cerdas. Pastikan selalu membaca informasi nilai gizi dan takaran saji yang tercantum pada kemasan,” imbau BPOM.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.