Bedakan Alergi dan Intoleransi Susu, Jangan Salah Menanganinya
Tubuh mengenali protein susu sebagai zat berbahaya, lalu mengeluarkan reaksi perlawanan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –Bagi sebagian orang, segelas susu di pagi hari adalah simbol kasih sayang dan kesehatan.
Namun bagi yang lain, susu justru menjadi sumber rasa tidak nyaman, perut kembung, mual, hingga ruam kulit setelah diminum.
Banyak yang menyangka itu hanya masalah pencernaan ringan, padahal bisa jadi tubuh sedang memberi sinyal.
Ini bukan sekadar tidak cocok, tapi alergi atau intoleransi.
Baca juga: Puluhan Anak di Kadungora Jawa Barat Keracunan Susu MBG, Kepala BGN: Ini Hal yang Tidak Terduga
Masalahnya, dua istilah ini sering tertukar. Alergi susu dan intoleransi laktosa terdengar mirip, tapi keduanya punya mekanisme dan dampak yang sangat berbeda.
Dalam program Health Corner Sonora, dr. Santi, Health Management Specialist Corporate HR Kompas Gramedia, menjelaskan dengan tegas perbedaannya.
“Kalau alergi, itu reaksi sistem imun terhadap protein susu. Tapi kalau intoleransi, masalahnya ada di pencernaan karena tubuh tidak punya cukup enzim laktase untuk memecah gula susu, yaitu laktosa,” jelasnya pada kanal YouTube Sonora FM, Sabtu (4/01/2025).
Menurut dr. Santi, alergi susu lebih banyak terjadi pada anak-anak dan bisa menimbulkan gejala yang cukup serius.
Tubuh mengenali protein susu sebagai zat berbahaya, lalu mengeluarkan reaksi perlawanan.
“Gejalanya bisa berupa ruam, gatal-gatal, muntah, bahkan sesak napas,” ujarnya.
Sementara intoleransi laktosa biasanya dialami orang dewasa.
Ini bukan masalah kekebalan tubuh, tapi kemampuan mencerna.
Ketika seseorang kekurangan enzim laktase, laktosa yang tidak tercerna akan difermentasi oleh bakteri di usus besar.
“Akibatnya timbul gejala seperti perut kembung, begah, atau diare beberapa jam setelah minum susu,” tutur dr. Santi.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak menyadari perbedaan ini.
Orang yang intoleran sering dikira alergi, lalu malah menghindari semua produk susu termasuk yogurt dan keju yang sebenarnya masih bisa ditoleransi tubuh.
Sebaliknya, orang yang alergi justru nekat tetap mengonsumsi susu dalam jumlah kecil, menganggap gejalanya sepele, padahal bisa memicu reaksi berat bila berulang.
Dalam kasus alergi susu, sistem kekebalan tubuh terlibat penuh.
Tubuh memproduksi antibodi IgE yang akan bereaksi setiap kali ada protein susu masuk ke tubuh.
Reaksinya bisa muncul dalam hitungan menit.
Sementara intoleransi laktosa tidak melibatkan antibodi sama sekali, hanya berkaitan dengan kemampuan tubuh mencerna gula susu.
Karena, dr. Santi mengingatkan, penanganannya pun berbeda.
“Kalau alergi, sebaiknya hindari semua produk berbahan susu sapi, termasuk makanan olahan yang mengandung kasein atau whey,” ujarnya.
Sedangkan bagi penderita intoleransi, mereka masih bisa minum susu dalam jumlah kecil atau memilih produk bebas laktosa.
“Sekarang sudah banyak pilihan susu rendah atau tanpa laktosa, bahkan dari bahan nabati seperti almond, kedelai, atau oat,” tambahnya.
Meski terdengar sederhana, salah menangani dua kondisi ini bisa berakibat panjang.
Pada penderita alergi, paparan berulang terhadap susu bisa memperparah reaksi imun dan menyebabkan peradangan kronis.
Sementara pada intoleransi, konsumsi susu berlebihan bisa mengganggu penyerapan gizi dan menyebabkan gangguan saluran cerna jangka panjang.
Bila tubuh merasa tidak nyaman setelah minum susu, bukan berarti Anda lemah atau tidak sehat.
Itu hanya cara tubuh berkomunikasi, meminta perhatian dan penyesuaian.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kesadaran ini penting.
Lebih lanjut dr. Santi menekankan bahwa susu bukan satu-satunya sumber nutrisi penting.
“Protein, kalsium, dan vitamin bisa kita peroleh dari berbagai sumber. Misalnya dari ikan teri, tempe, tahu, sayuran hijau, hingga kacang-kacangan,” katanya.
Kuncinya adalah pola makan seimbang, bukan satu makanan ajaib.
Kini, banyak alternatif susu nabati yang bisa menjadi pilihan, susu kedelai, almond, oat, atau beras.
Masing-masing punya kandungan dan rasa khas.
Tapi penting diingat, tidak semua susu nabati memiliki nilai gizi setara dengan susu sapi.
Sebagian bahkan rendah protein dan kalsium, sehingga tetap perlu disesuaikan dengan kebutuhan individu.
Untuk orang dengan intoleransi laktosa ringan, konsumsi susu sapi dalam porsi kecil atau bersama makanan lain kadang masih bisa ditoleransi.
Beberapa produk susu fermentasi seperti yogurt dan kefir juga bisa lebih mudah dicerna karena proses fermentasi sudah menguraikan sebagian laktosa.
Namun bagi penderita alergi, produk-produk ini tetap harus dihindari sepenuhnya.
Yang terpenting, kata dr. Santi, jangan menebak-nebak sendiri.
“Kalau ragu apakah alergi atau intoleransi, sebaiknya periksa ke dokter. Tes kulit atau tes darah bisa membantu memastikan penyebabnya,” ujarnya.
Kebiasaan menebak sendiri sering membuat masalah makin panjang.
Banyak orang yang tiba-tiba menghapus semua produk susu dari dietnya tanpa pengganti yang memadai, lalu malah kekurangan zat gizi penting.
Padahal dengan panduan medis, kita bisa tetap sehat tanpa harus kehilangan keseimbangan nutrisi.
Di balik semua istilah medis dan pilihan diet, pelajaran terbesarnya tetap sama.
Tubuh kita sedang mengajarkan kesabaran dan empati.
Bahwa tidak semua orang bisa menikmati hal yang sama, dan itu tidak apa-apa. Bahwa kesehatan bukan soal ikut arus, melainkan soal menghormati batas tubuh sendiri.
Vadel Badjideh Siap Banding usai Divonis 9 Tahun Penjara, Asisten Nikita Mirzani: Semoga Nggak Naik |
![]() |
---|
Cak Imin: Semua Santri Al Khoziny yang Diamputasi Saya Jadikan Anak Angkat Saya |
![]() |
---|
Tangisan Nikita Mirzani Lewatkan Momen Ulang Tahun Putranya karena Masih Dalam Penjara |
![]() |
---|
KONDISI Pilu Bocah 6 Tahun Cacingan Akut di Bengkulu: Demam 7 Hari, Stunting dan Disabilitas |
![]() |
---|
Musim Batuk Pilek, Itu Flu atau Common Cold? Dokter Jelaskan Perbedaannya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.