Jangan Tunggu Benjolan! Ini Penjelasan Dokter Soal Pentingnya Deteksi Dini Kanker Payudara
Di tengah maraknya kampanye kesadaran, satu pesan sederhana seolah terus bergema, jangan tunggu benjolan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setiap Oktober, dunia memperingati Bulan Peduli Kanker Payudara.
Di tengah maraknya kampanye kesadaran, satu pesan sederhana seolah terus bergema, jangan tunggu benjolan.
Baca juga: Mitos atau Fakta Radiasi Mammografi Bisa Perparah Kanker Payudara? Ini Kata Dokter
Pesan itu bukan sekadar slogan. Di baliknya, ada kenyataan pahit bahwa mayoritas pasien kanker payudara di Indonesia datang ke rumah sakit dalam kondisi sudah lanjut, sehingga peluang sembuh menjadi lebih kecil.
“Hampir 70 persen pasien kanker datang dalam keadaan yang sudah lanjut,” ujar Spesialis Bedah Konsultan Onkologi dari Eka Hospital BSD, Dr. dr. Sonar Soni Panigoro, Sp.B (K) Onk, M.Epid, MARS,pada media briefing di Tanggerang Selatan, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, angka ini tidak banyak berubah meski kesadaran publik terhadap kanker payudara semakin tinggi.
Baca juga: Kanker Payudara Bisa Disembuhkan Tapi Banyak Pasien yang Terlambat Ditangani karena Biaya
“Dulu waktu saya masuk kuliah tahun 70-an sudah begitu, sekarang setelah saya pensiun, masih sama juga,” katanya menambahkan.
*Deteksi Dini Menyelamatkan Nyawa*
Kanker payudara adalah kanker yang tumbuh di jaringan kelenjar payudara.
Sekitar 90 persen kasus berasal dari kelenjar susu atau duktus, sementara sisanya bisa berasal dari jaringan kulit, pembuluh darah, atau jaringan lemak.
“Kalau kita bisa mendeteksi sejak awal, tingkat kesembuhan bisa hampir 100 persen,” jelas dr Sonar.
Ia menekankan, deteksi dini dapat dilakukan dengan dua cara.
Yaitu Sadari (Pemeriksaan Payudara Sendiri) dan Sadanis (Pemeriksaan Payudara Klinis).
Sadari dilakukan sebulan sekali, idealnya seminggu setelah menstruasi, sementara Sadanis bisa dilakukan di fasilitas kesehatan dengan pemeriksaan USG atau mamografi.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO WHO, peluang bertahan hidup lima tahun bagi pasien kanker payudara stadium 0 mencapai 99 persen.
Namun angka itu turun drastis menjadi di bawah 20 persen pada stadium 4.
“Makanya kalau bisa kita cari kanker pada stadium yang sedikit mungkin, supaya kesembuhannya mirip orang normal,” ucap dr Sonar.
*Pentingnya Mengetahui Faktor Risiko
Meski penyebab pasti kanker payudara belum diketahui, sejumlah faktor diyakini meningkatkan risiko, seperti riwayat keluarga dengan kanker, usia, gaya hidup, serta paparan hormon estrogen dalam jangka panjang.
“Sekarang tidak ada satu penyebab yang pasti,” jelasnya.
“Berbeda dengan TBC, yang jelas disebabkan oleh kuman. Pada kanker, penyebabnya banyak: mulai dari kebiasaan hidup, hormon, hingga faktor genetik," lanjutnya.
Khusus faktor genetik, mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 menjadi salah satu yang paling dikenal.
Orang yang memiliki gen ini berisiko 10 kali lipat lebih besar terkena kanker payudara atau ovarium.
Namun hanya sekitar 10 persen kasus kanker payudara yang benar-benar bersifat turunan.
“Jadi kalau seseorang tidak punya keturunan kanker, bukan berarti bebas dari risiko,” katanya mengingatkan.
*Sadari, Langkah Kecil yang Berdampak Besar*
Sadari bisa menjadi langkah sederhana namun penting untuk mengenali perubahan pada tubuh.
Periksa dilakukan di depan cermin dengan memperhatikan bentuk, warna, dan permukaan kulit payudara.
Apakah ada kulit yang tampak seperti kulit jeruk? Apakah ada tarikan di satu sisi, luka, atau cairan keluar dari puting tanpa sebab? Jika ya, segera periksa ke dokter.
Namun, pemeriksaan Sadari bukan tanpa keterbatasan.
“Biasanya kalau sudah tampak perubahan seperti kulit jeruk atau tarikan, itu sudah lanjut. Tapi paling tidak, supaya tidak terlalu lanjut, tetap harus tahu juga," tegasnya.
Untuk mendeteksi yang tidak teraba, pemeriksaan penunjang seperti USG atau mamografi tetap dibutuhkan.
USG disarankan bagi wanita di bawah usia 40 tahun karena jaringan payudara masih padat, sedangkan mamografi efektif untuk usia di atas 40 tahun.
*Antara Kesadaran dan Ketakutan*
Meski edukasi terus digalakkan, sebagian perempuan masih ragu melakukan pemeriksaan.
Ada yang takut hasilnya buruk, ada pula yang menganggap pemeriksaan itu hanya perlu jika sudah merasa sakit.
Padahal, deteksi dini justru dilakukan saat tidak ada keluhan.
“Banyak yang berpikir kalau tidak ada gejala, berarti sehat. Padahal, banyak kanker ditemukan tanpa keluhan sama sekali,” ujarnya.
Ketakutan lain muncul karena mitos bahwa pemeriksaan payudara menimbulkan rasa sakit atau radiasi yang berbahaya.
Padahal, dosis radiasi pada mamografi sangat kecil dan tidak berisiko untuk tubuh.
*Dukungan Lingkungan Sangat Penting*
Selain faktor medis, dukungan keluarga dan lingkungan juga memegang peran besar.
Perempuan sering menunda periksa karena sibuk atau merasa tidak didukung.
“Banyak ibu-ibu bilang, ‘Ah nanti saja dok, anak masih kecil, suami belum izin.’ Padahal justru karena punya keluarga, pemeriksaan itu penting supaya tetap sehat dan bisa mendampingi mereka,” ujar dokter itu.
Bahkan, dalam banyak kasus, keputusan perempuan untuk periksa bergantung pada dorongan orang terdekat.
Karena itu, edukasi sebaiknya tidak hanya menyasar perempuan, tetapi juga pasangan dan keluarga.
Meski tidak ada cara mencegah kanker payudara sepenuhnya, risiko bisa ditekan dengan pola hidup sehat.
Tidak merokok, menjaga berat badan ideal, membatasi konsumsi alkohol, rutin berolahraga, dan mengatur pola makan bergizi.
Dokter tersebut menyebut langkah sederhana itu bisa menurunkan risiko hingga 40 persen.
“Memang untuk mencegah pasti tidak bisa, tapi dengan melakukan beberapa hal-hal ini lumayan,” ujarnya.
Pesannya sederhana namun kuat, perempuan harus mengenali tubuhnya sendiri.
Karena semakin cepat kanker ditemukan, semakin besar pula peluang untuk sembuh.
“C itu cek kesehatan berkala, E itu enyahkan rokok, R itu rajin olahraga, D itu diet seimbang, I itu istirahat cukup, K itu kelola stres,” tutupnya, merangkum prinsip hidup sehat dalam satu kata yaitu CERDIK.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.