Susu Bukan Satu-satunya Sumber Gizi, Ini Cara Menyusun Piring Seimbang untuk Kesehatan Tubuh
Seiring berkembangnya pengetahuan gizi, muncul pertanyaan penting: benarkah susu adalah kunci utama tubuh sehat dan kuat?
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Bagi banyak keluarga Indonesia, susu masih dianggap “wajib” hadir di meja makan.
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa segelas susu di pagi hari adalah tanda cinta orang tua, pelengkap sarapan, bahkan simbol hidup sehat.
Baca juga: Awal Mula S Bunuh Istrinya, Diminta Masak Air untuk Susu Anak hingga Tak Izinkan Istri ke Pasar
Namun di tengah berkembangnya pengetahuan gizi, muncul pertanyaan penting: benarkah susu adalah kunci utama tubuh sehat dan kuat?
Dalam program Health Corner Sonora, dr. Santi, Health Management Specialist Corporate HR Kompas Gramedia, menjelaskan bahwa konsep “4 Sehat 5 Sempurna” yang selama ini menjadi pedoman masyarakat sudah tidak lagi digunakan.
“Sekarang, yang kita pakai adalah Pedoman Gizi Seimbang (PGS). Di sini, tidak ada lagi istilah ‘makanan sempurna’, karena semua makanan punya peran masing-masing dalam mendukung kesehatan,” katanya pada siaran radio Sonora FM dilansir, Sabtu (4/10/2025).
Artinya, susu tidak lagi dipandang sebagai penyempurna makanan, melainkan salah satu dari sekian banyak sumber protein dan kalsium.
Dalam Pedoman Gizi Seimbang, fokusnya bukan lagi pada satu jenis makanan, melainkan pada keseimbangan dan keberagaman dalam setiap kali makan.
“Piring makan kita sebaiknya berisi separuh sayur dan buah, seperempat sumber karbohidrat, dan seperempat sumber protein,” ujar dr. Santi.
Baca juga: Bedakan Alergi dan Intoleransi Susu, Jangan Salah Menanganinya
Ia menekankan, yang membuat tubuh sehat bukan satu jenis makanan ajaib, melainkan kombinasi dari berbagai sumber gizi dalam proporsi yang tepat.
“Kalau sudah makan cukup protein dari lauk, cukup sayur, buah, dan karbohidrat, tubuh sebenarnya tidak wajib minum susu,” jelasnya.
Keseimbangan ini menjadi kunci. Sebab tubuh manusia membutuhkan ratusan zat gizi yang bekerja sama seperti orkestra, tidak ada satu pun yang bisa berdiri sendiri.
Kalsium dari susu misalnya, membutuhkan vitamin D untuk diserap optimal, sementara protein dari daging atau tempe bekerja bersama zat besi dan vitamin B12 untuk mendukung metabolisme.
Namun, di tengah arus informasi gizi yang membanjiri media sosial, banyak masyarakat yang justru terjebak pada food idol, makanan yang dianggap “penyelamat” kesehatan.
Padahal, tubuh manusia terlalu kompleks untuk disederhanakan dalam satu gelas susu atau satu jenis buah saja.
Bagi mereka yang tidak cocok minum susu, entah karena alergi atau intoleransi laktosa, ada banyak alternatif sumber gizi yang sama baiknya.
Lebih lanjut dr. Santi menjelaskan, kalsium bisa diperoleh dari ikan teri, tahu, tempe, bayam, brokoli, kacang almond, hingga biji wijen.
Sementara sumber protein dapat ditemukan dalam telur, ayam, ikan, dan kacang-kacangan.
“Prinsipnya, makanlah beragam. Jangan terpaku pada satu makanan, karena yang membuat tubuh kuat adalah keseimbangan, bukan kesempurnaan,” ujarnya.
Namun, banyak orang masih mengaitkan susu dengan status sosial atau prestise kesehatan.
Dalam banyak keluarga urban, minum susu menjadi simbol kemapanan, sementara anak yang tidak suka susu kadang dianggap “kurang gizi”.
Padahal, menurut dr. Santi, hal itu hanyalah persepsi lama yang perlu diluruskan.
“Susu bagus, tapi bukan satu-satunya yang bagus. Kalau kita sudah makan beragam dan bergizi seimbang, tanpa susu pun tubuh tetap sehat,” jelasnya.
Kesadaran baru ini penting, terutama di tengah tantangan modern yang membuat pola makan sering tidak seimbang.
Banyak orang yang terbiasa makan terburu-buru, mengandalkan makanan instan, atau melewatkan sayur dan buah.
Sementara susu, karena mudah diminum dan praktis, sering dijadikan “penebus dosa” setelah makan sembarangan.
Padahal, tidak ada satu minuman pun yang bisa menetralkan gaya hidup tidak sehat.
Prinsip piring seimbang mengajarkan kita untuk memperlakukan tubuh dengan bijak.
Setiap warna di piring punya makna, hijau dari sayuran untuk serat dan vitamin, oranye dari buah untuk antioksidan, cokelat dari serealia untuk energi, dan putih dari sumber protein seperti telur atau ikan.
Susu bisa melengkapi, tapi bukan satu-satunya pemeran utama.
Dalam konteks budaya, perubahan paradigma ini memang tidak mudah. Banyak orang tua yang masih memegang teguh pepatah lama, “Kalau tidak minum susu, gizinya tidak sempurna.”
Namun kini, banyak dokter dan ahli gizi mengajak masyarakat untuk berpikir lebih fleksibel dan realistis.
“Tidak semua orang harus minum susu, tapi semua orang harus makan seimbang,” tegas dr. Santi.
Penting untuk melihat makanan bukan sekadar dari kandungannya, tetapi juga dari cara kita menikmatinya.
Mindful eating, atau makan dengan kesadaran penuh, mengajarkan bahwa setiap gigitan punya nilai.
Ketika kita makan perlahan, mengunyah dengan tenang, dan menikmati rasa alami makanan, tubuh lebih mudah mengenali rasa kenyang dan puas.
Inilah yang membedakan makan sekadar untuk kenyang dengan makan untuk benar-benar menyehatkan.
Susu tetap bisa menjadi bagian dari gaya hidup sehat bila dikonsumsi dengan bijak.
Tidak perlu setiap hari, tidak perlu dipaksakan, dan tentu tidak wajib.
Bila tubuh merasa nyaman dan tidak bereaksi negatif, susu dapat menjadi pelengkap yang baik.
Tapi bila tidak cocok, jangan merasa bersalah untuk menggantinya dengan sumber lain.
Tubuh kita bukan mesin yang bisa diprogram sama untuk semua orang.
Ia punya bahasa dan batasnya sendiri. Dan memahami itu adalah langkah pertama menuju kesehatan sejati.
Akhirnya, sehat bukan soal siapa yang paling banyak minum susu, siapa yang paling rajin membeli produk “fortifikasi”, atau siapa yang punya menu paling trendi.
Sehat adalah tentang mengenali tubuh sendiri, memberi apa yang ia butuhkan, dan mencukupinya tanpa berlebihan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.