Anak Susah Makan, Pemilih dan Tak Doyan Sayur? Coba Pancing dengan Permainan Sensorik
Anak susah makan sering jadi drama kecil di meja makan keluarga. Tak doyan sayur, tutup mulut dan pemilih makanan. Coba trik ini.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Anak susah makan sering kali menjadi drama kecil yang akrab di meja makan keluarga.
Menolak sayur, menutup mulut rapat-rapat, atau hanya mau makanan tertentu, semua ini kerap membuat orangtua khawatir dan frustrasi.
Baca juga: Jangan Stres, Ini yang Dilakukan Nikita Willy ketika Anak Susah Makan
Namun, kebiasaan anak yang disebut picky eater (pemilih makanan) sebenarnya tidak selalu disebabkan oleh perilaku semata.
Ada faktor lain yang lebih dalam, yakni cara anak memproses informasi sensorik melalui indra mereka sejak dini.
Hal ini ditegaskan oleh Terapis Okupasi Anak dan Pendiri Occupational Child Development Center (OCDC) dan Saskhya Aulia, M.Psi., Psikolog Klinis Anak dan Remaja sekaligus Co-founder Tiga Generasi, serta Mentari Puspa Dewi, S.Tr.Kes.OT.
Baca juga: Jangan Biasakan Anak Makan Sambil Digendong! Ini Dampak Negatif yang Bisa Muncul
Keduanya menegaskan bahwa tantangan makan pada anak sering kali berawal dari proses perkembangan sensorik dan motorik, bukan dari perilaku menolak semata.
“Apa yang terlihat seperti permainan biasa sebenarnya adalah latihan motorik yang sangat penting bagi tangan anak,” ujar Saskhya Aulia dalam acara Play-Doh Playdate: Menghidupkan Jajanan Anak dengan Kreativitas Tanpa Batas! di Tangerang Selatan, Kamis (16/10/2025).
Saat anak-anak menggulung, menekan, dan membentuk tanah liat atau bahan pembentukan, mereka melatih keterampilan motorik halus yang esensial untuk kegiatan seperti menulis, makan, dan koordinasi sehari-hari.
Bentuk permainan sensorik ini juga mendorong asosiasi positif dan bebas tekanan dengan makanan.
Menurut Mentari Puspa Dewi, cara anak menerima makanan dipengaruhi oleh bagaimana sistem sensorik mereka memproses berbagai rangsangan seperti tekstur, aroma, hingga warna makanan.
“Apa yang orangtua sering sebut ‘picky eating’ bisa berawal dari cara sistem sensorik anak memproses tekstur dan sentuhan,” jelas Mentari.
Menurut Mentari, jika seorang anak menolak tekstur tertentu, ini bukan tentang memaksa anak untuk makan.
"Justru, ini tentang membantu mereka mengeksplor sensasi tersebut di lingkungan yang positif dan menyenangkan,"lanjut Mentari.
Setelah sesi diskusi, para orang tua diajak mengikuti lokakarya interaktif yang dipandu Mentari Puspa Dewi untuk mempelajari teknik permainan sensorik sederhana di rumah.
Mulai dari membuat bentuk makanan, menekan adonan, hingga menciptakan tekstur baru, semua dirancang agar anak merasa lebih nyaman menghadapi makanan di dunia nyata.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa waktu bermain bisa menjadi bentuk terapi alami bagi anak yang memiliki kecemasan terhadap makanan.
Tak hanya mengasah motorik halus, permainan sensorik juga memperkuat ikatan emosional antara orang tua dan anak, sebuah pondasi penting dalam perkembangan sosial dan emosional anak.
Di tengah tuntutan modern dan rutinitas yang serba cepat, momen sederhana seperti bermain bersama anak justru bisa menjadi ruang penuh makna.
Di sanalah anak belajar mengenal dunia, dan orang tua belajar memahami anak dengan lebih lembut.
Karena pada akhirnya, permainan bukan sekadar hiburan, melainkan bahasa kasih yang membantu anak tumbuh dengan rasa aman, percaya diri, dan bahagia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.