Sabtu, 15 November 2025

Dokter Spesialis Paru: Udara Bersih dan Iklim Sehat, Dua Kunci Cegah Pneumonia

Dokter spesialis paru menjelaskan bahwa polusi udara luar dan dalam ruangan sama-sama bisa merusak sistem pertahanan tubuh.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Wahyu Aji
Kompas.com
Ilustrasi Pneumonia - Dokter spesialis paru menjelaskan bahwa polusi udara luar dan dalam ruangan sama-sama bisa merusak sistem pertahanan tubuh. 

Ringkasan Berita:
  • Polusi udara, asap rokok, dan perubahan iklim kini diidentifikasi sebagai pemicu utama meningkatnya kasus pneumonia global.
  • Dokter spesialis paru Dr. Bintang Yinke Magdalena Sinaga menjelaskan bahwa partikel polusi dapat merusak sistem pertahanan pernapasan.
  • PDPI menyerukan kolaborasi lintas sektor, untuk pengendalian pneumonia berkelanjutan.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak orang mengira pneumonia hanya disebabkan oleh virus atau bakteri

Padahal, udara yang kita hirup setiap hari juga berperan besar dalam menentukan kesehatan paru-paru. 

Polusi, asap rokok, dan perubahan iklim kini disebut sebagai pemicu senyap meningkatnya kasus pneumonia di dunia.

Dokter spesialis paru konsultan infeksi Dr. dr. Bintang Yinke Magdalena Sinaga, M.Ked(Paru), Sp.P(K) menjelaskan bahwa polusi udara luar dan dalam ruangan sama-sama bisa merusak sistem pertahanan tubuh.

“Paparan materi partikel ini mengganggu mekanisme pemisahan mukosiliar dan menyebabkan peradangan saluran nafas yang berakibat terhadap risiko pneumonia yang meningkat,” ujar Bintang pada konferensi pers Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) secara virtual, Rabu (12/11/2025). 

Sumber polusi dalam ruangan berasal dari bahan bakar memasak seperti kayu dan arang, serta asap rokok. 

Sementara di luar ruangan, emisi kendaraan dan industri menjadi kontributor utama. 

Menurut laporan yang dikutip Bintang, lebih dari 7 juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi udara, dan 21 persen di antaranya terkait pneumonia.

Kondisi ini diperparah oleh perubahan iklim.

Cuaca ekstrem seperti banjir, kebakaran hutan, dan gelombang panas terbukti meningkatkan lonjakan kasus pneumonia di berbagai negara. 

“Banjir di Bangladesh tahun 2020 meningkatkan kasus pneumonia pasca-bencana hingga 25 persen,” jelas Bintang dalam pemaparannya. 

Fenomena serupa terjadi di California dan Eropa ketika gelombang panas memicu infeksi pernapasan akibat menurunnya kualitas udara.

Selain memperburuk udara, perubahan iklim juga berdampak pada ketahanan pangan.

Gagal panen akibat cuaca ekstrem bisa menimbulkan defisit nutrisi, yang pada akhirnya melemahkan sistem kekebalan tubuh dan membuka jalan bagi infeksi paru.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved