Jelang Pemilu 2024, Wakil Ketua MPR RI Berharap Penyebaran Hoaks Politik Harus Dicegah
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat berharap penyebaran hoaks politik dapat segera dicegah demi pembangunan yang lebih demokratis jelang pemilu 2024.
Editor:
Content Writer
Pada langkah korektif, lanjut Usman, pihaknya memakai teknologi AI untuk menyaring konten-konten negatif di media sosial. Selain itu juga patroli siber untuk mengawasi medsos selama 24 jam untuk mengidentifikasi hoaks.
“Sedangkan pada mekanisme represif itu melibatkan para praktisi hukum untuk menyikapi konten-konten hoaks yang ditemukan. Dari itu semua, perlu adanya kolaborasi dari semua pihak untuk perang besar melawan hoaks politik, sehingga kita bisa menjaga kualitas demokrasi kita," ucap Usman.
Pakar Komunikasi Politik dan Dosen Komunikasi Universitas Airlangga Suko Widodo berpendapat hoaks saat ini tidak lagi diutarakan dengan kata-kata yang bisa ditengarai dengan jelas, tetapi kerap dengan kata-kata halus tapi mendalam.
Maka dari itu, Suko mendorong agar pemerintah mengoptimalkan pemberantasan hoaks dengan cara-cara melibatkan masyarakat, terutama generasi muda. Karena, menurut Suko, para pembuat hoaks itu terkoordinir.
Dengan demikian, tidak cukup hanya dengan mengungkap fakta bahwa konten itu adalah hoaks, tetapi juga harus konsisten memproduksi konten-konten anti hoaks.
"Kampanye besar-besaran untuk melawan hoaks secara masif harus dilakukan, sehingga masyarakat menjadi kritis terhadap setiap informasi yang diterimanya," ujar Suko.
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengungkapkan ada sejumlah bentuk gangguan hak para pemilih dalam proses pemilu antara lain dalam bentuk diskriminasi dalam regulasi, intimidasi dan penolakan hak pilih, serta pengacauan informasi pemilu.
“Pemilu yang demokratis tidak bisa diwujudkan bila pemilih tidak bisa memahami atas pilihan-pilihan yang dibuat, karena sejumlah gangguan terhadap hak pilihnya,” ujar Titi.
Titi menilai, hoaks politik merupakan kampanye jahat. Hoaks yang menyasar para pemilih dalam proses pemilu bisa berdampak ke banyak sektor, sehingga bisa merugikan negara.
“Dalam kasus diskriminasi regulasi pada para pemilih bisa berdampak pemilihan ulang akibat terjadi inkonsistensi dalam penerapan aturan, yang mengakibatkan munculnya kerugian negara,” tambahnya.
Pada kesempatan itu, Titi mengungkapkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi pada penyelenggaraan Pemilu 2024, antara lain yaitu masa kampanye yang hanya 75 hari, belum adanya regulasi untuk menyikapi disinformasi yang terjadi, dan netralitas aparat penegak hukum.
“Oleh karena itu, dibutuhkan penyelenggara pemilu yang kredibel, mandiri dan terbuka, sehingga mampu memproduksi aturan teknis yang jelas agar mampu menekan dampak disinformasi yang terjadi,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika berpendapat dalam upaya mencegah dan mengatasi penyebaran hoaks seringkali pemerintah hanya melakukan single action dan single post.
Dalam mengatasi hoaks, Wahyu mendorong agar pemerintah juga melakukan pendekatan pada sisi narasi dan jaringan sebaran hoaks agar lebih efektif. Dia juga berharap pemerintah bisa independen dalam penanganan kasus-kasus penyebaran hoaks.
“Upaya mencegah hoaks di negeri ini harus menjadi gerakan sosial karena hoaks sudah mencemari ekosistem kita,” ujar Wahyu.
Anggota DPR Ahmad Irawan Respons Pernyataan Yusril: Pemilih Berhak Memilih Artis atau Bukan |
![]() |
---|
Artis Jadi Anggota DPR Tuai Sorotan, Golkar Usul UU Pemilu Segera Direvisi |
![]() |
---|
Yusril Singgung Sistem Pemilu Bikin Orang Pintar Kalah dari Artis, DPR: Wajib Revisi UU |
![]() |
---|
Beredar Kabar Hoaks Hamil Anak ke-6, Ussy Sulistiawaty Ungkap Faktanya |
![]() |
---|
5 Hoaks yang Menjadi Sorotan TNI Terkait Demonstrasi Berujung Kericuhan di Sejumlah Wilayah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.