Pemotongan Dana TKD, Dedi Iskandar Tegaskan Kebijakan Pemerintah Harus Berpihak kepada Daerah
Dedi Iskandar Batubara menegaskan bahwa kebijakan pemerintah pusat harus berpihak pada kepentingan daerah.
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI, Dr. Dedi Iskandar Batubara, menegaskan bahwa kebijakan pemerintah pusat harus berpihak pada kepentingan daerah. Ia secara khusus mengingatkan agar pemerintah mewaspadai berbagai dampak dari kebijakan pemotongan dana transfer ke daerah (TKD).
Menurut Senator Dedi, kebijakan pemotongan TKD berpotensi membawa dampak positif maupun negatif. Karena itu, ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan gejolak baru di daerah.
“Bagi kami di DPD RI, jangan sampai kebijakan ini menimbulkan kegaduhan. Ini yang kami khawatirkan,” ujarnya seusai Diskusi Publik Kelompok DPD RI di MPR RI bertajuk “Masa Depan Otonomi Daerah di Tengah Polemik Pemotongan TKD dan Kemandirian Fiskal” di Hotel Aston, Bintaro, Tangerang Selatan, Jumat (21/11/2025).
Senator asal Sumatera Utara itu menekankan pentingnya mengantisipasi dampak negatif dari pemotongan TKD.
“Jangan sampai pilihan kebijakan justru menambah masalah, bukan menyelesaikannya,” katanya.
Meski demikian, Dedi memahami bahwa pemerintah memiliki dasar dan pertimbangan tertentu dalam mengambil kebijakan tersebut. Ia berharap program atau kebijakan baru yang nantinya dikeluarkan pemerintah tetap berorientasi pada peningkatan kesejahteraan serta memastikan pembangunan di daerah tetap berjalan baik.
“Kalau itu terjadi, saya kira semua daerah akan senang,” ujarnya.
Ia juga mengutip pandangan sejumlah pakar yang menyebutkan dua kemungkinan dampak dari kebijakan pemotongan TKD: daerah bisa menyerah karena kehilangan daya dukung fiskal, atau justru semakin maju karena terdorong berinovasi memaksimalkan potensi lokal.
Sebagai contoh, Dedi menyinggung kasus di Kabupaten Pati yang sempat memicu reaksi masyarakat setelah pemerintah daerah menaikkan pajak sebagai respons atas berkurangnya dana yang diterima.
Karena itu, menurutnya, agenda otonomi daerah harus terus dibenahi. “Kami berharap pemerintah pusat memberi ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk tumbuh dan berkembang, serta memastikan TKD tetap dipenuhi sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Baca juga: Dedi Iskandar: Pengurangan Dana Transfer ke Daerah Berpotensi Membebankan Masyarakat di Daerah
Pemangkasan TKD Perlemah Posisi Daerah
Dalam sambutan pembuka diskusi, Senator Dedi menyoroti bahwa pemangkasan TKD semakin memperlemah posisi pemerintah daerah yang selama ini bergantung pada dana pusat. Berdasarkan data Kemendagri, dari 546 daerah otonom, sebanyak 400 daerah belum mandiri, sementara hanya sekitar 100 daerah yang dinilai mampu mandiri secara fiskal.
Tak heran, lanjutnya, jika rata-rata postur APBD sebagian besar—sekitar 70 persen—masih bergantung pada TKD seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa. Sementara itu, hanya 30 persen berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Senator Dedi menilai kebijakan pemotongan TKD juga bertentangan dengan semangat Pasal 18A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang mengamanatkan hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras.
“Faktanya, sekitar 80 persen dana APBN terserap di pusat, dan hanya 20 persen mengalir ke daerah. Ini menimbulkan ketidakadilan fiskal,” tegasnya.
Meski demikian, Dedi mengakui bahwa kebijakan pemangkasan TKD juga dapat menjadi momentum evaluasi bagi daerah agar lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan anggaran. Dengan demikian, tidak ada lagi dana triliunan rupiah mengendap di bank akibat keterlambatan pelaksanaan program prioritas.
Ia juga melihat potensi positif lainnya: daerah dapat lebih terpacu mengembangkan perekonomian dan memperkuat kemandirian fiskal, terutama daerah yang memiliki potensi besar seperti migas, pariwisata, atau industri.
“Daerah harus lebih kreatif dan inovatif dalam mencari sumber pendapatan baru untuk menaikkan PAD,” ujarnya.
Untuk mengatasi dilema antara pemangkasan TKD dan kebutuhan memperkuat kemandirian daerah, Dedi mendorong agar pemerintah pusat dan daerah duduk bersama demi mencapai kesepahaman.
“Daerah juga punya hak atas TKD. Karena itu, kebijakan anggaran harus diambil secara adil agar tidak ada pihak yang dirugikan,” ujarnya.
Ia mengusulkan agar pemangkasan TKD dilakukan secara parsial, yaitu hanya diberlakukan pada daerah yang terbukti buruk dalam tata kelola keuangan, disertai pembinaan yang intensif.
“Dengan banyaknya polemik terkait pemangkasan TKD dan kebutuhan memperkuat kemandirian fiskal daerah, kami berharap diskusi publik hari ini menghasilkan ide-ide segar sebagai solusi mewujudkan keadilan fiskal bagi pemerintah pusat dan daerah,” tutupnya.
Diskusi publik ini menghadirkan lima narasumber, yaitu Dr. Cheka Vigowansyah (mewakili Wamendagri Bima Arya), Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si (Guru Besar Administrasi Publik UI), Dr. Suyoto (Bupati Bojonegoro 2008–2018), Dr. Suhirman Madjid (Anggota K3 MPR RI), dan Dr. Indri Arrafi Juliannisa, S.E., ME (Dosen Ekonomi Pembangunan UPN Veteran Jakarta).
Hadir pula sejumlah anggota Kelompok DPD RI di MPR, antara lain Anna Latuconsina (Maluku), Dr. Habib Ali Alwi (Banten), Pdt. David Harold Waromi (Papua), dan Eka Kristian Yeimo (Papua Tengah). (*)
Baca juga: Senator Dedi Iskandar Batubara: Penguatan Keluarga Kunci Menuju Indonesia Emas 2045
| Gibran Panggil Purbaya Bahas Keluhan Anggaran Pemda Dipotong, Bobby Nasution Mengadu? |
|
|---|
| Dana TKD Dipangkas, Anggota DPR Minta Pemerintah Pusat dan Daerah Bersinergi |
|
|---|
| PBHI: Kebijakan Pemerintah yang Didominasi Industri Rokok Mengancam Hak Kesehatan Warga |
|
|---|
| Waketum Gerindra: Kita Jangan Sampai Diperalat, Pokoknya Kebijakan Pemerintah Ditentang |
|
|---|
| Pandji Pragiwaksono Sindir Strategi Efisiensi Anggaran: Penghematan yang Kaya, Bukan yang Miskin |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.