Senin, 18 Agustus 2025

Kenapa Orang Sekarang Gampang Baper? Ada Luka Lama yang Belum Sembuh

Baper atau sifat mudah tersinggung tidak selalu datang tiba-tiba. Ada banyak hal yang membentuknya, bahkan sejak seseorang masih kecil.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Aplikasi CICI
ILUSTRASI BAPER - Seorang wanita baper alias terbawa perasaan. Gambar ini dibuat menggunakan aplikasi CICI, Jumat (15/8/2025). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Istilah “baper” merupakan akronim frasa "terbawa perasaan" sudah menjadi bahasa gaul sehari-hari di Indonesia. 

Singkatan dari bawa perasaan, kata ini biasanya disematkan kepada seseorang yang dianggap mudah tersinggung, bahkan untuk hal-hal kecil. 

Namun, di balik candaan, fenomena baper ternyata punya akar yang lebih dalam, melibatkan faktor psikologis, pengalaman masa lalu, pola asuh, hingga pengaruh budaya dan media sosial.

Psikolog Hernita Wijayaratna, M.Psi., mengungkap bahwa sifat mudah tersinggung tidak selalu datang tiba-tiba. 

Baca juga: Bisa Picu Risiko Kematian, Psikolog Bagikan Tips Atasi Kesepian Kronis

Ada banyak hal yang membentuknya, bahkan sejak seseorang masih kecil.

“Banyak faktor ya sebenarnya. Misalnya memang punya kepekaan yang tinggi, pengalaman masa lalu yang negatif, atau kurangnya keterampilan sosial sejak kecil,” jelas Hernita pada talkshow kesehatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan secara virtual, Jumat (15/10/2025). 

Baper Bukan Sekadar Emosi Negatif

Dalam dunia psikologi, baper sering dikaitkan dengan munculnya emosi negatif seperti marah, sedih, atau bingung. 

Semua orang punya emosi negatif maupun positif. Yang membedakan adalah cara mengelolanya.

Menurut Hernita, orang yang tingkat “cedera emosinya” rendah biasanya lebih cepat bereaksi terhadap pemicu, atau stimulus, yang mengganggu perasaan. 

Hal ini membuat mereka cenderung reaktif berlebihan.

Misalnya, sebuah komentar yang sebenarnya netral bisa memicu dua reaksi berbeda. 

Ada orang yang menanggapi dengan santai, bahkan sambil bercanda, tapi ada juga yang langsung tersinggung atau marah.

Di sinilah pengalaman masa lalu, pola asuh, dan nilai-nilai budaya berperan besar. 

Seseorang yang pernah dibully atau direndahkan cenderung lebih sensitif terhadap situasi yang mirip dengan pengalamannya dulu.

Media Sosial: Arena Pemicu Baper

Fenomena baper di era digital semakin kentara. 

Media sosial, yang awalnya menjadi ruang berbagi dan berkomunikasi, justru bisa menjadi ladang subur bagi kesalahpahaman.

“Di media sosial, orang bebas berinteraksi tanpa konsekuensi langsung. Bahasa tulisan sulit menyampaikan emosi yang sebenarnya, dan penerima pesan bisa menafsirkan berbeda,” ujar Hernita.

Kesalahan tanda baca, penggunaan huruf kapital, atau bahkan nada sarkas yang tidak terbaca di teks bisa memicu reaksi emosional yang berlebihan. 

Terlebih, ketika empati berkurang. Seseorang yang tidak terbiasa memahami perasaan orang lain akan lebih mudah merasa tersinggung.

Dan sebaliknya, juga mudah melukai perasaan orang lain tanpa sadar.

Keterampilan Sosial yang Mulai Hilang

Hernita menegaskan, kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif adalah kunci untuk mengurangi risiko baper

Sayangnya, di banyak lingkungan, keterampilan sosial ini tidak dilatih sejak kecil. 

Akibatnya, saat dewasa, seseorang sulit menerima masukan secara positif atau menyampaikan pesan tanpa menyinggung pihak lain.

Budaya juga punya peran penting. Di lingkungan yang tidak terbiasa dengan komunikasi terbuka, komentar to the point sering dianggap kasar, meskipun maksudnya baik. 

Hal ini membuat dinamika hubungan, baik di dunia nyata maupun digital, menjadi semakin rentan.

Mengelola Emosi, Menghindari Drama

Mengelola emosi bukan berarti menekan perasaan. Marah, sedih, dan kecewa adalah hal wajar. 

Namun, penting untuk mengenali perasaan sendiri sebelum bereaksi, memahami penyebabnya, dan mencari cara menyalurkannya dengan tepat.

Memahami bahwa tidak semua komentar ditujukan untuk merendahkan bisa membantu kita lebih bijak dalam merespons. 

Begitu pula, sebelum memberi komentar, penting untuk mempertimbangkan bagaimana orang lain akan menerimanya.

Fenomena baper mungkin terdengar ringan, tapi jika dibiarkan, ia bisa merusak hubungan, menurunkan kepercayaan diri, bahkan memicu konflik berkepanjangan. 

Di era media sosial yang serba cepat ini, keterampilan mengelola emosi dan berkomunikasi dengan empati bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan